Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dosen Pembimbing : Faiq Tobroni, M.H.
Disusun oleh:
Muhammad Abdul
Ghofur Asshiddiq (16340026)
JURUSAN ILMU
HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
masyarakat, karena melalui perkawinan orang dapat hidup bersama, kemudian
melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa[1]. Mengingat arti penting peranan hidup
bersama, maka pengaturan mengenai perkawinan harus dilakukan oleh negara dan
dalam hal ini negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang
pria dan wanita melalui ikatan perkawinan.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, permasalahan yang
terjadi dalam bidang perkawinan menjadi semakin kompleks. Sering tersiar dalam
berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan
bermasyarakat, sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis (homo atau lesbian), perkawinan kontrak dan perkawinan antar agama. Bahkan
kompleksitas masalah dalam perkawinan ini juga terjadi karena adanya
kemungkinan bahwa perkawinan campuran juga merupakan perkawinan antar agama,
berhubung pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan merupakan
pasangan yang lintas negara (berbeda kewarganegaraan) sekaligus merupakan
pasangan lintas agama (berbeda agama).
Perkawinan
yang merupakan bagian dari HAM, melain-kan hak untuk membentuk keluarga inilah
yang merupakan bagian dari HAM, dan berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974,
hak untuk membentuk keluarga ini sekaligus merupakan tujuan perkawinan, karena
yang dimaksud dengan per-kawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah: “ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan mem-bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perlu diperhatikan bahwa walaupun hak
untuk membentuk keluarga merupakan bagian dari HAM, tetap saja pemenuhan
terhadap hak ini harus mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan kata lain bahwa pemenuhan hak untuk membentuk keluarga tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan hak untuk membentuk keluarga, persoalan krusial
yang muncul belakangan ini adalah terkait dengan perkawinan antar agama. Banyak
para pendukung HAM yang beranggapan bahwa perkawinan antar agama harus diakui
oleh pemerintah, karena perkawinan merupakan HAM setiap orang, dengan demikian
UU No. 1 Tahun 1974 harus segera direvisi, karena mengabaikan HAM anggota
masyarakat yang melaksanakan perkawinan antar agama.
Pendapat seperti ini muncul karena berdasarkan Pasal 16 ayat (1) The Universal
Declaration on Human Rights, (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), yang selanjutnya disingkat
DUHAM, ditentukan bahwa: “laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan
tidak dibatasi kebangsaan, kewarga-negaraan atau agama, berhak untuk menikah
dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal
perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa hak untuk perkawinan (pernikahan) dan hak untuk membentuk
keluarga tidak boleh dibatasi oleh 3 (tiga) hal, yaitu: (1) kebangsaan; (2)
kewarganegaraan; dan (3) agama. Berhubung hak untuk melaksanakan perkawinan dan
hak untuk membentuk keluarga tidak boleh dibatasi oleh agama, maka ada anggapan
yang mengatakan bahwa perkawinan antar agama juga tidak boleh dilarang,
walaupun dan dalam ajaran agama belum tentu dibolehkan, oleh sebab itu larangan
terhadap perkawinan antar agama dianggap sebagai pelanggaran HAM.
1. Perkawinan beda Agama dalam perspektif
HAM
Secara yuridis nilai-nilai HAM bersumber pada instrumen
internasional yang disebut sebagai the International Bill of Human Rights, yang
terdiri atas Universal Declaration of Human Rights (diterima tahun 1948), the
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR-1966) beserta dua
Optional Protocols and the International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR-1966) Sekalipun merupakan instrumen internasional,
tetapi HAM memiliki dimensi universal dan partikular. Dimensi universal
memandang nilai-nilai HAM berlaku berlaku universal sebagaimana diatur dalam
Bangkok NGO Declaration pada 27 Maret 1993 yang menyatakan, bahwa: “As human
rights are universal concern and are universal in value, the advocacy of human
rights cannot be considered to be an encroachment upon national sovereignty.”
Artinya, nilai-niilai HAM bersifat universal sehingga penegakan HAM tidak dapat
dibatasi oleh kedaulatan nasional.
ICCPR merupakan perjanjian internasional yang teksnya dihasilkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1966. ICCPR mulai berlaku
tahun 1976 setelah 35 negara meratifikasi. Indonesia telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights–ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005.
Perlu dicatat, ICCPR hanya berlaku bagi negara-negara yang telah meratifikasi. Substansi
yang diatur dalam ICCPR intinya adalah penghormatan atas HAM yang terkait
dengan hak–hak sipil dan politik dan mewajibkan kepada negara peserta untuk
mentransformasikan ke dalam hukum nasional. ICCPR pada dasarnya memuat
ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif
negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak
(state parties) ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering
disebut sebagai hak–hak negatif (negative rights). Artinya, hak–hak dan
kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara
terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis,
tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar
oleh negara.
Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik berbunyi “ Hak atas kebebasan
berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik,
memeluk agama dan kepercayaan)”, dsb.[2]
Dalam Pasal 18 (a) deklarasi anti diskriminasi agama dinyatakan
bahwa; every person is entitled to marry, to found a family and to bring up
children in conformity with his religion, traditions, angculture.. Pasal
ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menikah, membangun
keluarga dan untuk mengarahkan anak-anaknya kepada agama, tradisi dan
budayanya.
Dalam UDHR Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa; Men and women of full
age without any limitation due to race, nationality, or religion, have the
right to marry and to found a family. They are entitled to equal right to
marriage, during marriage and at its dissolution. Pasal tersebut menyatakan
bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah dan membangun
keluarganya, tanpa halangan adanya perbedaan ras, kebangsaan atau
kewarganegaraan dan perbedaan agama. Dengan demikian perbedaan agama bukan
meripakan penghalang untuk menikah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 7
GHR bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan.
Dalam UU tentang HAM di Indonesia, di samping terdapat kebebasan
beragama juga terdapat kebebasan untuk menikah dan meneruskan keturunan,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 (1) yang berbunyi; Setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Akan tetapi dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa perkawinan yang ditentukan
menurut UU. Dengan demikian, hak untuk melaksankan perkawinan dibatasi oleh UU
Perkawinan. Sementara dalam Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan yang sah yaitu
perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.[3] Pasal
tersebut sering dianggap sebagai pelarangan terhadap perkawinan beda agama,
karena perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing, sedangkan tidak mungkin satu perkawinan dilaksanakan dengan dua
upacara agama. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa UU mengenai perkawinan
di Indonesia bertentangan dengan UDHR.
2.
Pernikahan beda agama di indonesia
Pernikahan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi
perdebatan dalam hukum keluarga. Di Indonesia sendiri perkawinan beda agama
mengalami perubahan sejak sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan setelah adanya UU Perkawinan. Namun walaupun ada
perubahan secara regulasi tetapi hal itu tetap saja dianggap beberapa pihak
bahwa pengaturran perkawinan beda agama tidak tegas dan dianggap telah ada
ketidakjelasan/ penyelundupan hukum di dalamnya.
Dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan
masing-masing. Dari Pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di Indonesia
adalah perkawinan berdasarkan hukum agama. Sehingga, perkawinan yang
dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama tidak sah. Dari pasal
tersebut, biasanya ditarik pengertian juga bahwa perkawinan beda agama yang
tidak diperbolehkan oleh suatu hukum agama tidak sah pula.[4]
Penjelasan atas Undang-Undang ini kemudian diperkuat dengan adanya UU No 39
Tahun 1999. Dalam Pasal 50 UU ini, tercantum klausa bahwa “Wanita yang telah
dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri,
kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.”[5]
Pasal 2 UU
Perkawinan sering dianggap sebagai pelarangan terhadap perkawinan beda agama,
karena perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Sedangkan tidak mungkin satu perkawinan dilaksanakan dengan dua
upacara agama.oleh karena itu, dalam
pelaksanakan perkawinan beda agama salah satu pihak hendaknya mengikuti agama
pihak lain. Hal ini sebagaimana solusi atau pemecahan masalah pelaksanaan
perkawinan beda agama yang dirumuskan oleh mahkamah agung:[6]
a.
Sesuai
dengan jiwa dari UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut prinsip
kesimbangan antara suami dan istri ,maka seharusnya kedua pihak bermusyawarah untuk menentukan hukum agama
mana yang akan dipakai.
b.
Karena
tentang hal ini belum diatur dalam UU Perkawinan maka dapatlah dipergunakan
Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) yaitu bahwa perkawinan dapat dilangsungkan
sesuai dengan hukum yang berlaku untuk suami (Pasal 6).
Yudicial review tentang
regulasi perkawinan beda agama juga telah diajukan oleh para pemohon yang
merasa dirugikan dengan adanya UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1). Perkara
tersebut juga telah diputuskan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dan MK menyatakan
penolakan seluruhnya tentang uji materiil UU Perkawinan yang diajukan oleh
pemohon. Karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. MK justru menilai bahwa
negara harus mengeluarkan peraturan dengan nilai agama, moral, keamanan, dan
ketertiban umum. Menurut MK perkawinan beda agama justru tidak menimbukan
kepastian hukum. Selain itu, pembatasan dalam perkawinan beda agama akan bisa
memberikan kebahagiaan dalam melaksanakan perkawinan[7]
Lebih lanjut MK menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga
negara. Dijelaskan lebih lanjut ditegaskan bahwa perkawinan dalam UU Perkawinan
merupakan ikatan lahir dan batin yang bertujuan menciptakan keluarga atau rumah
tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut MK bahwa agama
adalah landasan komunitas individu yang menjadi komunitas individu di dalamnya.
MK juga menegaskan bahwa negara berperan dalam memberikan pedoman untuk
memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan keberlangsungan manusia.
Selain itu menurutnya bahwa perkawinan harus didasarkan kepada agama bukan
hanya aspek formal semata. Selain itu, perkawinan harus juga melihat aspek sosial
dan spritual. Terkait dengan pencatatan dan pengesahan, maka MK berpendapat
bahwa agama berperan sebagai penentu keabsahan perkawinan dan negara berperan
menetapkan keabsahan administratif.[8]
Melihat dua
pembahasan di atas tentang pengaturan pernikahan beda agama dalam perspektif
HAM dan hukum positif di Indonesia, maka akan muncul kontradiksi diantara
keduanya. Disatu sisi KIHSP dan UDHR melarang adanya pelarangan pernikahan
dengan alasan ras dan agama. Disi lain Indonesia dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 nya hanya mengakui pernikahan yang dilakukan menurut hukum agamalah yang
sah. Tentunya hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan akademisi hokum
terkhusus yang mengkaji tentang persingungan HAM dan Hukum Posiitif di
Indonesia.
Negara
Indonesia adalah negara yang memiliki pandangan hidup yang sudah sangat jelas
dan final yaitu Pancasila. Pancasila adalah kristalisasi dari semua kepentingan
dan pandangan hidup bangsa. Ini artinya Pancasila mendapatkan tempat lebih
tinggi dari sekedar peraturan hukum kongkrit yang berbentuk Undang-undang Dasar
dan lain sebagaianya. Dalam sila pertama PANCASILA telah tegas menyatakan
Ketuhanan Yang Maha Esa artinya, setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia
haruslah berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan, selain itu konsekuensi logis
dari hadrinya sila pertama tersebut adalah bagaimana negara menjamin kehidupan
beragama dari tiap-tiap warga negara.
Menurut
Hazairin sebagaimana dikutip oleh Sri Wahyuni dalam tulisanya tentang penikahan
beda agama. Disitu disebutkan bahwa agama Islam,Kristen, Hindu dan Budha tidak
mengehendaki adanya pernikahan beda agama.[9]
Sebagai wujud pengejawantahan terhadap Pancasila sila pertama maka hadirlah
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan secara tegas bahwa
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan
kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan upaya negara dalam menjaga
kemurnian ajaran agama di Indonesia., karena dengan ini secara tidak langsung
negara hadir untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk setiap warga negara
dalam menjalankan perintah agamanya.Meskipun adapula yang berpendapat bahwa
sejatinya pelarangan nikah beda agama dalam hukum positif di Indonesia tidak
secara tegas diatur.
Prof. Mahfud
MD,secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM boleh dilakukan selama
menggunakan instrument hukum dan digunakan sebagai perlindungan terhadap HAM
orang lain.[10] Jika
kita melihat pembatasan HAM terhadap pelaku perkawinan beda agama dengan
mendalam maka sejatinya negara sedang melindungi HAM pemeluk agama yang dalam
ajaran agamanya melarang perkawinan beda agama. Konsep inilah yang kemudian jamak sebagai HAM
partikularis atau relativitas HAM.
Indonesia
jelas menganut HAM partikularis, karena banyak peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang tidak mentaati Konvenan Internasioanal tentang HAM. Karena sejatinya Indonesia memiliki cara pandang sendiri dengan
HAM. Hal yang demikian dapat kita temukan secara eksplisit dalam konstitusi
kita yaitu terdapat dalam Pasal 28 J Ayat (2), dalam pasal tersebut mengatur
secara jelas alasan apa saja yang boleh digunakan untuk membatasi HAM. Maka
konsekuensinya nilai-nilai HAM universal harus mengalami filterisasi oleh
nilai-nilai keIndoneisaan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwansannya Indonesia
memiliki pandangan bahwasannya pernikahan beda agama tidak boleh dilaksanakan.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang HAM dan
setiap negara yang meratifikasinya wajib mentaatinya. Karena indonesia memiliki
pandangan sendiri tentang HAM, hal itu sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, perbedaan agama dan keyakinan yang ada dalam perkawinan tidak
boleh ada karena tidak sesuai dengan pancasila dan telah di atur dalam
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena itu Indonesia jelas termasuk penganut HAM partikularis dimana pelanggaran HAM boleh dilakukan selama
menggunakan instrument hukum dan digunakan sebagai perlindungan terhadap HAM
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Soedaryo
Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam & Hukum Adat, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
Jurnal
Aris Danu
Setiyanto,”Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
68/PUU-XII/2014 Dalam Perspektif HAM”, Al-Ahwal, Vol. 9, No.1, Juni 2016
Ahmadi
Hasnuddin Dardiri, dan Marzha Tweedo,
dan Muhammad Irham Roihan, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif
Islam dan HAM”, Khasanah, Vol.6, No.1, Juni 2013
Sri Wahyuni,
“Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”In Right: Jurnal
Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011
Perundang-undangan
Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Internet
https://profmahfud.wordpress.com/2016/02/10/ham-boleh-dilanggar/
[1]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif
Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam & Hukum Adat, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003, hlm. 3.
[2]
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
[3]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[4] Aris
Danu Setiyanto,”Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
68/PUU-XII/2014 Dalam Perspektif HAM”, Al-Ahwal, Vol. 9, No.1, Juni
2016, hlm.13
[5]
Ahmadi Hasnuddin Dardiri, dan Marzha
Tweedo, dan Muhammad Irham Roihan, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari
Perspektif Islam dan HAM”, Khasanah, Vol.6, No.1, Juni 2013, hlm. 111
[6] Sri
Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia” In
Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011, hlm.149
[7] Aris
Danu Setiyanto, Op.cit., hlm. 14
[8] Aris
Danu Setiyanto, Op.cit., hlm. 24
[9] Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda
Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”In Right: Jurnal Agama dan Hak
Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011, hlm. 138
[10] https://profmahfud.wordpress.com/2016/02/10/ham-boleh-dilanggar/