Kamis, 06 Oktober 2016

RISYWAH/SUAP MENYUAP DALAM HUKUM



RISYWAH/SUAP MENYUAP DALAM HUKUM

Allah SWT berfiman dalam surat Al Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya :
Dan janganlahsebagian kalian memakanhartasebagian yang lain di antara kalian denganjalan yang batildan (janganlah) kalian membawa (urusan) hartaitukepada hakim, supaya kalian dapatmemakansebagiandarihartabenda orang lain itudengan (jalanberbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
Asbabulnuzul:
Menurut salah satu pendapat, firman Allah ini turun mempunyai asbabul nuzul sebagai berikut, Abdan bin Asywa’ Al Hadhrami yang mengklaim harta milik Imri’il Qais Al Kindi (sebagai hartanya). Kemudian mereka berperkara kepada Nabi Muhammad SAW, lalu Imri’il Qais Al Kindi mengingkari klaim tersebut dan diapun akan melakukan sumpah. Lalu turunlah ayat ini. Akhirnya Imri’il Qais Al Kindi urung melakukan sumpah. Beliaupun memberikan kepada abdan tanahnya, dan dia pun tidak memperkarakannya lagi.
Asal mula ini sesuai dengan hadis ummu salamah yang diceritakan oleh Imam Malik, Imam Bukhari dan Muslim serta lainnya yang mempunyai kitab sunnah. Hadist tersebut mengataan bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada dua orang yang bersengketa dan melapor kepada beliau. Nabi kemudian bersabda kepada mereka :
اِنَّمَا اَنَا بَشَرٌوَاَنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ اِلَيَّ,وَلَعَلَ بَعْضُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُخَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى لَهُ بِنَحْوِمَا اَسْمَعُ,فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ شَيْئًا يَأْخُذُهُ,فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian dan kalian melaporka sesuatu kepada saya. Ada satu kemungkinan bahwa seorang di antara kalian mahir di dalam memberi hujjah dari yang lain, sehingga membuat saya menghukumi sesuai dengan keterangan yang saya dengar. Barang siapa yang telah kuputuskan mengenai hak saudaranya, dan ternyata ia mengambil sebagian dari haknya (orang lain), berarti saya telah memberikan kepadanya sepotong api neraka.[1]
            Kemudian dua orang tersebut menangis, lalu salah satu di antara mereka bertanya kepada temannya :
اَنَا حِلٌّ لِصَا حِبِى,فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ:إِذْهَبَا فَتَوَخَّيَا ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيُحْلِلً كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا صَاحِبَهُ.
            “Kepunyaanku terserah kepada temanku ini”. kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “pergilah kalian berdua, capailah tujuan dimaksud secara benar (jujur), lakukanlah undian, lalu hendaknya sesudah itu kalian saling memaafkan temannya”[2].
            Maksud dari mahir berhujjah disini adalah salah seorang lebih pandai dalam mencari alasan yang memperkuat hujjahnya. Dan yang dimaksud dengan jujur adalah menghendaki kebenaran dan perkara yang hak. Yang dimaksud undian disini adalah, lakukanlah pembagian harta yang sebenarnya. Kemudian setelah itu hendaklah salah seorang mengambil hartanya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan dalam undian tersebut.  
Pengertian umum:
            Karena ayat-ayat yang telah lalu membicarakan masalah puasa dan hukumnya, dihalalkan seseorang makan hartanya sendiri tetapi didalam waktu tertentu, maka sebagai kaitan urutannya, di sini Allah SWT menjelaskan hukum-hukum memakan harta orang lain[3].
Keyword:
Firman Allah SWT yang berbunyi وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil.” Di antara bentuk memakan (harta orang lain) dengan jalan yang batil adaalah bila seorang qadhi memberikan keputusan yang menguntungkanmu, sementara engkau tahu bahwa engkau adalah orang yang berbuat batil[4].
Di dalam ungkapan ayat ini digunakan ungkapan harta kalian, hal ini merupakan peringatan bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Juga sebagi peringatan, bahwa menghormati harta orang lain  berarti menghormati harta sendiri. Sewenang-wenang terhadap harta orang lain, berarti melakukan kejahatan kepada seluruh umat. Dan ia tentu terkena akibat negatif lantaran seorang yang memakan harta orang lain berarti memberikan dorongan kepada orang lain untuk berbuat hal serupa, dan terkadang menimpa dirinya jika keadaannya memang demikian, sehingga menjadi boomerang bagi dirinya.
Firman Allah SWT yang berbunyi  وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ  “dan (janganlah) kamu membawa urusan itu kepada hakim.” Menurut suatu pendapat, makna dari firman Allah ini adalah, janganlah kalian gunakan harta kalian untuk para penguasa dan menyogok mereka, agar mereka memberikan keputusan untuk kalian yang membuat harta itu menjadi bertambah banyak. Dengan demikian, huruf بَ tersebut adalah bail zaaq mujarrad yaitu بَ yang mengandung makna ilshaaq (dekat/melekat), yang terlepas dari sebab akibat[5].
Keterkaitan dengan ayat lain:
            Q.S. Al Baqarah (2): 188 mempunyai keterkaitan dengan Q.S. Al Baqarah (2): 85 yang berbunyi:
ثُمَّ أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَىٰ تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ ۚ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُون
Artinya: “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dgunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
            Kedua ayat tersebut memiliki keterkaitan yaitu dalam kata تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ yang berarti “membunuh dirimu (saudaramu sebangsa)” yaitu dalam lafal al amwaal diifdhahkan kepada dhamir (yang kembali kepada orang) yang dilarang, (yaitu kum). Sebab, masing-masing dari keduanya (orang dan sesuatu yang dilarang) merupakan manhi (yang dilarang) dan manhi anhu (yang terlarang). Hal tersebut sesuai dengan kata tadi.
Ada juga keterkaitan denga ayat lain yaitu
Ali imran : 161
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Al maidah 42, 62, 63.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
42. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
63. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.


Penjelasan ayat dari berbagai literatur tafsir Al-Qur’an :
Dalam semua referensi yang saya baca tentang tarsir menjelaskan tentang penafisiran ayat ini yaitu bersumber dari dua kata kunci secara garis besarnya yaitu kata وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ  dan kata وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ . Yang mana kedua kata kunci tersebut selalu di bahas dalam setiap tafsir tersebut. Dalam tafsir Al Maraghi disini dijelaskan kata batil dalam ayat tersebut terdapat macam-macam dari batil tersebut yaitu[6]:
1.      Riba; sebab riba adalah memakan harta orang lain tampa adanya imbalan yang sewajarnya dari orang memberikan harta.
2.      Harta yang diberikan untuk para penguasa atau para hakim sbagai risywah (suap) kepada mereka.
3.      Memberikan sadaqah kepada orang yang mampu mencari nafkah yang penghasilannya sudah cukup.
4.      Orang yang mampu berusaha mengambil harta zakat. Seorang muslim dilarang mengambil harta zakat kecuali dalam keadaan terpaksa.
5.      Penjual jimat, rajah, tulisan-tulisan al Qur’an sebagai jimat misalnya surat yasin, untuk dipakai sebagai jimat penyubur usaha, atau mengasihi orang-orang yang sudah meninggal.
6.      Menganiaya orang lain dengan cara gasab manfaat.
7.      Penipuan dan pemerasan.
8.      Upah sebagai ganti melakukan ibadah, seperti salat dan puasa.
 Sedangkan dalam tafsir Al Qurthubi dijelaskan bahwa makna dari firman Allah SWT ini adalah, janganlah sebahagian dari kalian memakan harta sebahagian yang lain dengan jalan yang tidak benar. Dengan demikian, maka termasuklah ke dalam firman Allah ini perjudian, penipuan, perampasan, penginkaran hak, cara-cara yang tidak disukai pemiliknya, atau sesuatu yang diharamkan oleh syari’at meskipun disukai pemiliknya[7].
Namun tidak termasuk ke dalam firman Allah ini penipuan yang terjadi dalam jual beli, padahal sang penjual mengetahui hakikat barang yang di jualnya. Pasalnya, penipuan (dalam jual beli) ini lebih identik dengan hibbah.
Di antara bentuk memakan (harta orang lain) dengan jalan yang batil adalah apabila seseorang memberikan keputusan yang menguntungkanmu, sementara engkau tahu bahwa engkau adalah orang yang berbuat batil. Dalam hal ini, sesuatu yang di haramkan tidak lantas menjadi sesuatu yang dihalalkan hanya kerena keputusan qodhi. Sebab keputusan qodhi itu hanya berlaku pada tataran lahiriyah (saja). Ini merupakan kesepakatan (ijma’) yang berlaku dalam permasalahan harta.
Ada suatu pendapat yang terkandung dalam ayat tersebut dalam ayat tersebut yang artinya “(Janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim” makna yang terkandung dalam firman Allah ini adalah janganlah kalian gunakan harta kalian untuk para penguasa dan menyogok mereka, agar mereka memberikan keputusan untuk kalian yang membuat harta itu menjadi bertambah banyak.
Ibnu athiyah berkata[8], “pendapan ini lebih di unggulkan. Sebab para penguasa itu diduga banyak menerima suap, kecuali mereka yang dilindungi (Allah), namun jumlah mereka sedikit.” Salin itu, juga karena dua lafazh  tersebut dimana kata tudluu berasal dari irsaal ad-dalwi (mengulurkan ember), sedangkan kata risywah (suap) berasal dari kata Ar-rasyaa seolah dia mengulurkan ember tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.
Analisis penafsiran ayat:
            Dari apa yang telh diulis oleh penulis dapat di ambil analisa bawasannya dalam surah Al Baqarah ayat 188 tersebut menekankan kepada kita bawasannya risywah atau suap menyuap dalam bidang hukum adalah sebuah tindakan yang dilarang oleh agama. Memang praktek ini sudah lama terjadi banyak para pejabat menggunakan praktek tersebut untuk memiliki harta orang atau meringankan beban bagi yang sudah terjerat kasus tentunya. Padahal perbuatan tersebut sebuah perbuatan yang salah baik menurut hukum ataupun menurut agama. Seperti halnya dalam kedua literatur yang penulis kutib sebetulnya baik keduanya menjelaskan hal yang pada dasarnya sama akan tetapi dengan cara penyampaian yang sama.




DAFTAR PUTAKA
Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al Maragi, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993


[1] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 143
[2] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 143
[3] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 140
[4] Syaikh Imam Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 766-767
[5] Syaikh Imam Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 770-771
[6] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 141
[7] Syaikh Imam Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 766
[8] Syaikh Imam Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 771

Tidak ada komentar:

Posting Komentar