Rabu, 23 November 2016

tafsir ayat tentang tabayyun



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat Islam, iman, dan kesempatan sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas penafsiran tentang “Tabayyun/Cross-check Informasi di Bidang Hukum” dalam QS: Al-Hujurat (6).
Makalah ini dibuat dalam rangka memberi penjelas tafsir yang terdapat dalam QS: Al-Hujurat (6) yang membahas tentang wajibnya kita melakukan Tabayyun tentang semua informasi yang khususnya terjadi di bidang hukum dan umumnya terjadi di semua aspek kehidupan setiap manusia.
Dalam proses penyelesaian materi ini, tentunya penulis telah dibantu dengan segala arahan, koreksi, dan saran, untuk itu ucapan terima kasih disampaikan kepada:
·         Mansur, S.Ag., M.Ag, selaku dosen mata kuliah “Tafsir Ayat dan Hadis Hukum”
·         Rekan-rekan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum 2016
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis, umumnya untuk para pembaca.

Yogyakarta, 17  September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.   LATAR BELAKANG...............................................................................3
1.2.   RUMUSAN MASALAH...........................................................................3
1.3.   TUJUAN.....................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. AYAT DAN TERJEMAHAN..............................................................5
2.2. MAKNA PER KATA............................................................................5
2.3. ASBABUN NUZUL.............................................................................6
2.4. MUNASABAH AYAT..........................................................................8
2.5. LITERASI AYAT..................................................................................10
2.6. ANALISIS PENAFSIRAN AYAT........................................................13
BAB 3 PENUTUP
            3.1 KESIMPULAN......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................16


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Permasalahan zaman globalisasi ini adalah para liberalisme yang memegang kekuasaan negeri ini dengan tidak memperhatikan aspek kejujuran dalam memutuskan semua masalah kehidupan khusunya di bidang hukum. Sebagai kaum muslim yang memegang teguh Al-qur’an sebagai sumber ajaran yang utama seyogyanya kita melakukan tabayyun/cross-check dalam memuuskan semua masalah.
            Ditinjau dari aspek sosial permasalahan ini telah merasuk kedalam budaya sosial yang sering menyebar gosip, isu, ataupun adu domba. Bahkan lebih parahnya lagi masalah ini dijadikan sumber pendapatan bagi setiap pelakunya. 
Al-qur’an pun telah memberikan kita anjuran untuk melakukan tabayyun/cross-check dalam QS: Al-Hujurat (6). Terapi dari kata tabayyun adalah kunci dari penyelesaian masalah kehidupan ini. Selama kita tidak hanya menjadikan Al-qur’an sekedar imu pegetahuan semata yang dibaca atau kita pelajari selama di ini bahkan sekedar saat kita mendengar dikhutbahkan di mimbar-mimbar shalat jum’at maka dengan tabayyun itu kita bisa menciptakan masyarakat yang saling menebarkan kebaikan di dunia ini.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.2.1        Bagaimana tafsir Al-qur’an QS: Al-Hujurat (6)?
1.2.2        Bagaimana pendapat para ulama tentang isi penafsiran Al-qur’an QS:Al-Hujurat (6)?
1.2.3        Apa analisis penafsiran ayat dalam Al-qur’an QS: Al-Hujurat (6)?

1.3  TUJUAN
1.3.1        Mengetahui penafsiran Al-qur’an QS: Al-Hujurat (6).
1.3.2        Mengetahui pendapat beberapa ulama tentang isi penafsiran Al-qur’an QS: Al-Hujurat (6).
1.3.3        Memahami hasil analisis penafsiran ayat dalam Al-qur’an QS: Al-Hujurat (6).



















BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. AYAT DAN TERJEMAHAN
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[1]
2.2. MAKNA PER KATA:
     فَاسِقٌ : Orang fasiq (orang yang keluar dari batas-batas agama). Yakni dari kata Fasaqar Rutabu, yang artinya kurma itu keluar dari kulitnya.[2]
 بِنَبإٍ : Membawa berita, pengetahuan (ilmu)
فَتَبَيَّنوْا  : Mencari kejelasan dengan teliti                      
تُصِيْبُوْا : Menimpakan musibah
فَتُصْبِحُوْا  : Menyebabkan                                             
نَادِمِيْن : Orang-orang yang menyesal. Yakni orang-orang yang sedih berkepanjangan dan berangan-angan sekiranya hal itu tidak terjadi. Karena penyesalan adalah kesedihan atas terjadinya sesuatu yang disertai angan-angan sekiranya hal itu tidak terjadi.[3]
2.3. ASBABUN NUZUL
Al-Hafidz Ibnu Katsri menyatakan bahwa hal yang melatari ayat  sangatlah banyak, tetapi yang terbaik adalah riwayat dri Imam Ahmad dari jalur kepala suku Bani Mushthaliq, Al-Harits Ibu Dhirar Al-Khuza’i, ayah dari Juwairiyah Binti Al-Harits Ummil Mu’minin RA. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sabiq, beliau berkata : aku diberithu Isa Ibnu Dinar, beliau berkata : aku diberitahu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan Al-Harits Ibnu Dhirar Al-Khuza’i RA: Beliau mengatakan: “Aku mendatangi Rasulullah SAW. Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: “Wahai, Rasulullah. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu.”[4]
Setalah semua zakat terkumpul dan waktu yang disepakati dengan Rasulullah telah tiba, ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Harits mengira bahwa ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Rasululllah SAW yang menyebabkan beliau tidak kunjung mengirimkan utusannya. Al-harits juga khawatir semua ini akan membawa keburukan kepadanya maupun kaumnya.
            Setelah melalui musyawarah dengan tokoh-tokoh Bani Mushthaliq, Al-Harits merasa harus datang kepada Rasulullah SAW bukannya menanti utusan Rasulullah yang akan mengambil zakat. Dan berangkatlah beberapa dari mereka yang dipimpin langsung oleh Al-Harits untuk menyerahkan zakat itu secara langsung.
Sebenarnya Rasulullah SAW telah mengutus Al-Walid Ibnu `Uqbah kepada Al-Harits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan Al-Walid ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasulullah SAW sembari mengatakan sesuatu yang tidak benar: “Wahai Rasulullah, Al-Harits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku.” maka marahlah Rasulullah SAW, lalu mengutus pasukannya kepada al-Harits. Sementara itu, al-Harits telah berangkat bersama kaumnya. Akhirnya Rasulullah mengutus lagi beberapa sahabat untuk menemui Al-Harits diperjalanan.[5]
Pasukan Rasulullah SAW itu berkata: “Ini dia Al-Harits.”
Setelah al-Harits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?”
Mereka menjawab:“Kepadamu”.Dia bertanya: “Untuk apa?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengutus Al-Walid Ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya.”
Al-Harits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya. Aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku.”
Setelah al-Harits menghadap, Rasulullah SAW bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”
Al-Harits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Dan, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Rasulullah SAW.” Maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurat (6).[6]
2.4. MUNASABAH AYAT
1.      QS: Al-Isro : 36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS: Al-Isro : 36)
Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan bagimu tentangnya.[7]
Menurut Qatadah, janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu mengatakan bahwa kamu mengetahuinya padahal kamu tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya Allah SWT kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan.[8]
Menurut Muhammad Ibnul Hanafiyah maknanya adalah kesaksian palsu.
Kesimpulannya bahwa Allah SWT melarang untuk mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan dzan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
2.      QS. Qaaf (18)
Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasiq, Allah SWT juga mengingatkan agar tidak menyebarkan begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah SWT berfirman,”Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf (18)

3.      Hadits
Imam Baihaqi menuturkan bahwa Khalifah Ar-Rasyid mendengar kabar tentang Imam Syafi’i yang hendak mengusir seorang ‘alawi (Pengikut ImamAli) dari Yaman –padahal kabar itu tidak benar. Ar-Rasyid marah, kemudian dia mengirim pasukan untuk menangkap Imam Syafi’i. Selain Imam Syafi’i ada 17 oranng juga yang ditangkap.
            Muhammad bin Hasan memberikan pertolongan, namun itu tidak berarti apa-apa.
Ar-Rasyid membunuh sembilan orang diantara mereka, kemudian Imam Syafi’i dibawa menghadap kepadanya.
Begitu berada di hadapan Ar-Rasyid, Imam Syafi’i berkata,”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [6])
Ar-Rasyid kemudian berkata,”Bukankah berita tentangmu itu benar?”
“Wahai Amirul Mukminin, bukankah setiap orang di muka bumi ini yang mengaku pengikut Ali pasti beranggapan bahwa semua orang adalah budaknya? Bagaimana mungkin aku akan mengusir seseorang yang akan menjadikanku sebagai hambanya? Bagaimana mungkin aku dengki dengan keutamaan Bani Abdi Manaf sedang aku bagian dari mereka bagian dariku?” Jelas Imam Syafi’i
Amarah Ar-Rasyid pun mereda.[9]
2.5. LITERASI AYAT
            Begitu banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Allah SWT mendidik hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan suatu kesopanan yang berguna bagi mereka dalam soal agama maupun dunia. Mengenai bagaimana sikap orang mukmin apabila mendapat suatu berita yang dibawa oleh orang orang fasiq yang berita tersebut belum jelas kebenarannya.
            Berdasarkan penafsiran QS. Al-Hujurat (6) yang menjelaskan larangan untuk bertindak terlebih dahulu apabila terdapat suatu berita yang belum jelas kebenarannya. Akan tetapi berkewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu tentang kebenaran suatu berita tersebut dan berusaha untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Dalam tafsir al-Marighi dijelaskan, hal ini dilakukan agar tidak sampai melakukan penganiayaan terhadap suatu kaum yang tidak mengetahui hal ihwal mereka. Sehingga menyebabkan menyesal dengan tindakan yang terlanjur dilakukan.[10] Dalam Tafsir Al-Maraghi juga dijelaskan sebagai peringatan atas bencana yang akan terjadi apabila terdapat suatu berita yang belum jelas kebenarannya dan kemudian langsung mempercayainya, maka akan menjadikan salah sangka dan kesalahfahaman dengan berita tersebut yang  akan mengakibatkan bercerai berainya umat Islam.[11]
            Dalam tafsir Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an dijelaskan, bahwa ayat diatas merupakan menetapkan perintah untuk meneliti berita dari orang fasiq memiliki arti larangan melakukan berita tersebut. Sedangakn hakikatnya adalah menyingkap tidak adanya argumen. Hal ini juga ketetapan terhadap suatu berita yang tidak berargumen yang tidak disadari oleh akal, dimana orang yang memberi kabar tidak dapat dipercaya dan tidak ada urutan peristiwa dari berita tersebut.[12] Dalam tafsir Al-mizan fi Tafsir Al-Qur’an  dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung penetapan apa yang ditetapkan oleh pemikir dan penafian dengan apa yang dinafikan oleh mereka dan itu pelaksanaan bukan pendirian.[13]
            Sehubungan dengan ayat di atas adalah fiman Allah SWT:
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat [7]) [14]
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hujurat [8])[15]
            Ayat ini menjelaskan, diperintahnya Rasulullah untuk umatnya adalah sebagai pembimbing dan menuntun bagi umat manusia agar mereka tidak salah dalam bertindak dan bersikap. Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan, diperintahnya Rasulullah disini adalah untuk memberi petunjuk umat-umatnya. Dan kewajiban dari umat-umatnya adalah untuk mematuhi, menghormati, mengagungkan, bersikap sopan dan lain-lainnya. Karena Rasulullah lebih tahu dan mengetahui tentang kemaslahatan-kemaslahatan.[16] Ayat yang sama dengan redaksinya dengan ayat di atas adalah:
ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr&  
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ahzab [6]) [17]
            Dijelaskan pula dalam tafsir Al-Maraghi beberapa alasan kenapa Allah SWT memerintahkan untuk mematuhi peraturan Rasulullah SAW alah karena beliau lebih belas kasih terhadap orang mukmin daripada Rasulullah sendiri. Dan apabila umatnya tidak mematuhi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dan beliau mengikuti apa yang disarankan umatnya, maka akan terjerumuslah kedalam kesulita dan dosa. [18]
            Dari keterangan ayat 6-8 dalam Surat Al-Hujurat di atas, bahwa ayat di atas terdapat persamaan dan perbedaan dalam penafsirannya, di antaranya pada ayat yang berbunyi
(ó 7,Å$sùOä.uä!%y` bÎ) #þqãZtB#uä tûïÏ%©!$#  $pkšr'¯»tƒ dalam tafsir Al-Maraghi  maupun tafsir Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an menekankan pada lafadz (#þqãY¨t6tGsù yaitu larangan untuk bertindak terlebih dahulu apabila terdapat suatu berita yang belum jelas kebenarannya. Akan tetapi berkewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu tentang kebenaran suatu berita tersebut dan berusaha untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Dari sinilah mengingatkan atas bencana yang akan terjadi apabila terdapat suatu berita yang belum jelas kebenarannya dan kemudian langsung mempercayainya, maka akan menjadikan salah sangka dan kesalahfahaman dengan berita tersebut yang  akan mengakibatkan bercerai berainya umat Islam.
2.6. ANALISIS PENAFSIRAN AYAT
            Ayat ini seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita palsu, isu murahan, dan berita yang menebar fitnah.                  Allah SWT, mendidik hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan suatu kesopanan yang berguna bagi mereka dalam soal agama maupun dunia mereka. Pendidikan itu didapat hamba-Nya dari Al-Qur’an itu sendiri untuk berbagai aspek kehidupan di dunia ini. Di dalam analisis penafsiran ayat QS.Al-Hujurat (6) apabila dikaitkan dalam bidang hukum maka kata (#þqãY¨t6tGsù adalah hal yang paling pantas untuk kita gunakan. Karena dalam menentukan sebuah hukum kita harus mengetahui secara detai tentang masalah yang akan dihukumi itu. Hal itu perlu dilakukan agar jangan sampai orang-orang mukmin menimpakan suatu bencana kepada suatu kaum yang tidak mereka ketahui hal ihwal mereka,lalu menyesal mereka atas perbuatan yang terlanjur mereka lakukan dan berangan-angan sekiranya hal itu tidak pernah terjadi. [19]
            Dari Buraidah RA menceritakan Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga golongan hakim dua daripadanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ialah hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, hakim yang mengetahuimana yang benr, tetapi ia tidak mejatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan masuk neraka, dan hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar ketidaktahuannya itu, maka ia akan masuk neraka juga.” (HR.Arba’ah)
            Makna dari hadits di atas dengan penafsiran QS.Al-Hujurat (6) adalah tentang mengetahui perkara/informasi yang sebenarnya dari sebuah masalah serta memutuskan masalah itu dengan sebenar-benarnya. Tetapi kita harus tetap berhati-hati apabila kita benar-benar mengetahui perkara/informasi itu dengan baik, tetapi kita memutuskan/mengaplikasikannya dalam sebuah keputusan yang kita hadapi, maka kita termasuk golongan hakim yang tidak ideal dan masuk neraka. Naudzubillah
Berdasarkan penafsiran dari ayat QS.Al-Hujurat (6) diatas maka kita bisa membagi tentang sumber (media) hukum menjadi tiga klasifikasi. Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima. Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak. Ketiga, berita seorang yang fasiq yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.
             

BAB 3
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
1.      Islam mengajarkan kita untuk malakukan tabayyun/cross-check dalam setiap aspek kehidupan di dunia ini. Dan QS.Al-Hujurat ini merupakan alasan yang logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita.
2.      Dengan bertabayyun kita bisa menciptakan suasana yang dama dan tenang dalam kehidupan bermasyarakat kita ini.
3.      Sikap tabayyun/cross-check merupakan perintah Allah SWT, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan setan.
4.      Sebagai Ahli Hukum kita harus bisa mengaplikasikan sikap tabayyun ini. Karena betapa pedihnya ancaman Allah SWT melalui perkataan Nabi Muhammad SAW terhadap ahli hakim yang tidak melakukan tabayyun ataupun tidak melakukan pemutusan hukum yang baik dan benar maka akan akan dimasukkan kedalam neraka-Nya
5.      Semoga kita mampu menangkap pesan Allah SWT yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian di dunia maupun akhirat.










DAFTAR PUSTAKA

Luthfi, Hakim. 2009. Tafsir Tazkiyah. Jakarta: Gema Insan
Al-Marghani, Musthafa Ahmad. 1987. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi / Syeikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra
Departemen Agama RI. 1975. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Repurblik Indoneisa
Al-Farran, Ahmad bin Musthafa. 2009. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta:  Al-Mahira
googleweblight.com/?lite_url=http://www.muslimdaily.net/opini/wawasan-islam/tatsabbut-dan-tabayyun.html//


























[1] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.., hlm. 844.
[2] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXVI.., hlm.209

[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXVI.., hlm.211
[4] Qomarudin Saleh, dkk. Asbab Nuzul (Latar Belakang Histori Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an) (Bandung: Diponegoro, Cet X,1988, hlm.468
[5] Qomarudin Saleh, dkk. Asbab Nuzul (Latar Belakang Histori Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an) (Bandung: Diponegoro, Cet X,1988, hlm.468
[6] Qomarudin Saleh, dkk. Asbab Nuzul (Latar Belakang Histori Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an) (Bandung: Diponegoro, Cet X,1988, hlm.468
[9] Manaqib Asy-Syafi’iyy, karya Baihaqi, Jilid I, hlm.142-143

[10] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXV.., hlm.127.
[11] Ibid
[12] Muhammad Husain At-Tabataba’i,  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an.., hlm. 315.
[13] Ibid
[14] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.., hlm. 844.
[15] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.., hlm. 844.
[16] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXV.., hlm.127
[17] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.., hlm. .667
[18] Ibid. 16
[19] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Kitab Al-Maraghi.., hlm. 210-211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar