KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat Islam, iman, dan kesempatan sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah ini yang membahas tentang “Fiqh Lingkungan Tentang Kerusakan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.”
Makalah ini juga bisa menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah
karunia Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk melestarikannya dan
melindunginya, bukan untuk dieksploitasi secara tidak wajar sehingga timbul
kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem yang berakibat pada terganggunya
kelangsungan hidup di alam raya ini.
Dalam proses penyelesaian materi ini, tentunya penulis telah
dibantu dengan segala arahan, koreksi, dan saran, untuk itu ucapan terima kasih
disampaikan kepada:
·
Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. sebagai dosen mata kuliah
“Fiqih dan Ushul Fiqih”.
·
Khoirul Anam sebagai asisten dosen mata kuliah “Fiqih dan Ushul
Fiqih”.
·
Rekan-rekan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum 2016
Akhirnya penulis
berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis,
umumnya untuk para pembaca.
Yogyakarta, 26 September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR
ISI....................................................................................................... 2
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................... 3
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................. 4
1.3 Tujuan ............................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi Fiqh Lingkungan.................................................................6
2.2
Dasar Nash Fiqh Lingkungan...........................................................9
2.3
Maqasid Asy-Syariah Dalam
Fiqh Lingkungan..............................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat drastis
khususnya pada hal,lingkungan hidup atau sering kita sebut dengan sumber dya
alamnya. Para pengusaha yang berduit itu bisa berbuat apa saja semau mereka
aslalkan mereka mendapatkan keuntungan yang besar meskiipun mereka haru merusak
alam raya ini. Itu sangat lah berlawanan fitrah manusia yang diciptakan Allah
SWT sebagai khalifah yang salah satu tugasnya adalah untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup.
Dewasa ini, baik negara yang berteknologi maju dan kaya maupun
negara berkembang dengan masyarakat agraris dan mskin dihadapkkan pada
persoalan lingkungan hidup yang semakin lama cenderung berkembang semakin parah
dan rumit. Ini terjadi karena satu pihak gejala kerusakan lingkungan hiidup semakin
menonjjol, yang berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup umat manusia
semakin besar. Sementara di lain pihak,eksploiitasi terhadap alam yang
besar-besaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, semakin meningkat
pula justru dengan alasan demi kelangsungan hidup umat manusia.
Bila dikaitkan dengan faktor ekonomi duniia saat ini, maka penyebab
terbesar kerusakan lingkungan adalah dari keinginan para pengusaha untuk
mendapatkan keuntungan yang banyak seperti yang telah dijelaskan di atas.
“Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas.” Suatu konsep
pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh para kapitalisme modern yang
bertumpu pada pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya alam yang cenderung tanpa
kendali. Kapitalisme modern dengan sikap hidup egosentris ditunjang dengan
tersedianya energi yang berlimpah, mesin yang berteknologi tinggi, dan
penggunaan teknologi yang secara sistematik meningkatkan output, membuat
“pertumbuhan” menajdi hukum kehidupan dengan slogan yang didengarkan: “bertahan
hidup dan berkembang terus atau berhentii dan mati.” [1]Darii
slogan ini lah membuat para masyarakat di dunia ini lebih bersifat konsumerisme
yang menjadikan proses kerusakan lingkungan hidup itu berkembang pesat.
Dalam pandangan Islam, agama tidak bentrok dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karena ilmu tidak bersifat sekuler, bahkan nilai-nilai agama
selalu menjiiwai ilmu dan teknologi. Dalam pandangan agama, hidup manusia
tidaklah terpisah dari ekosistemnya, melainkan integral. Dengan demikiian, sekalipun
manusia menganggap dirinya berbeda dengan lingkungan hidupnya, namun manusia
memiliki ikatan fungsional dan karenanya perlakuan terhadap alam pun berbeda.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
1.2.1.
Apa itu fiqh lingkungan?
1.2.2.
Apa landasan nash tentang fiqh lingkungan?
1.2.3.
Bagaimana Maqasid Asy-Syariah dalam pelestarian lingkungan?
1.3. TUJUAN
1.3.1.
Mengetahui makna fiqh lingkungan.
1.3.2.
Menunjukan landasan nash tentang fiqh lingkungan.
1.3.3.
Menjelaskan hukum ushul fiqh tentang Maqasid Asy-Syariah dalam
pelestarian lingkungan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
FIQH LINGKUNGAN
Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada masalah sampah,
pencemaran, penghijauan kembali hutan gundul, maupun sekedar pelestarian alam.
Tetapi, lebih dari itu semua, masalah lingkungan hidup merpakan bagian dari
suatu pandangan hidup; sebab ia merupakan kritis terhadap kesenjangan yang
diakibatkan oleh pengurasan energi, dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh
pengejaran pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal. Dengan
kata lain, masalah lingkungan hidup berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup
manusia untuk melihat dirinya sendiri maupun pada titik-titik pengertian yang
demikian inilah norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai
dasar Al-Qur’an dan Sunnah, seperti dijelaskan garis-garis besarnya di atas,
dapat pula memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan lingkungan hidup itu.
Adapun pilar dari fiqh lingkungan itu sendiri adalah apa yang
terdapat dii dalam ajaran Islam, ada istilah Khalifah yakni sebutan yang
digunakan Allah SWT untuk menjaga atau pengemban amanat Allah SWT untuk mrnjaga
atau memelihara dan mengambankan alam demi untuk kepentiingan kemanusiaan.
Artinya, manusia bertanggung jwab terhadap kelestarian lingkungan hidup dan
keseimbangan ekosistem yang sudah sedemikian rupa diciptakan oleh Allah SWT.
Allah SWT telah menciptakan alam semesta dengan
ketentuan-ketentuan-Nya, menurut perhitungan yang sempurna.[2]
Allah SWT tidak menciptakannya dengan bermain-main[3]
atau dengan bathil, yakni sia-sia, tanpa arah dan tujuan yang benar.[4]
Alama adalah bagian dari kehidupan, dan alam itu sendiri hidup. Alam bersama
isinya (udara, air, tanah, tumbuhan, dan lain-lain) senantiasa bertasbih kepada
Allah dengan cara sendiri-sendiri.[5]
Allah SWT senantiasa mengingatkan kepada kita agar tidak melanggar
aturan-aturan itu (tidak melampaui batas dalam neraca yang diterapkan),[6]
dan menyuruh kita agar menjaga (menegakkan timbangan) itu demi keseimbangan
ekosistem dunia.[7]
Manusia dilarang merusak dan mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan
hidup. “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi, setelah ditata (perbaiki
dengan suatu ukuran tertentu untuk menjaga keseimbangan itu”. Itulah ayat
yang sering diulang-ulang di banyak tempat di Al-Qur’an. Demikian kerangka
pandangan Islam tentang lingkungan hidup.
Fiqh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulum
asy-syari’ah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam sebenarnya
telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi
wacana lingkugan hidup (al-bi’ah al-hayatiyyah) tidak dibahas dan dikaji
secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam
pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu.
Ada 4 pilar pembahasan dari fiqh itu sendiri yang berkaitan dengan
penataan kehidupan di dunia ini, yaitu:
(1)
Rub’u al-ibadat,
hubungan antara makhluk dengan Sang Khaliq.
(2)
Rub’u al-Mualamat, hubungan
menata hubunngan dengan sesama.
(3)
Rub’u al-Munakahat, hubungan
manusia dengan lingkungan keluarga.
(4)
Rub’u al-Jinayat, menata
tertib pergaulan manusia yang menjamin keselamatan dan ketentraman di dalam
kehidupan.
Dari keempat pilar ini maka akan menciptakan suatu lingkungan hidup
yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, dan bahagia lahir dan bathin, dunia
dan akhirat, yang dalam istilah agama lazim disebut sa’adat al-darayn (kebahagiaan
dunia-akhirat).
Pemahaman masalah
lingkungan hidup ( fiqh al-bi’ah) dan penanganannya (penyelamatan dan
pelestarsian) perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral untuk mendukung
segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina saat ini.[8]
Maka dari itu fidh lingkungan ini jjuga sangat berpengaruh pada keimanan kita
kepada Allah SWT. Keselarasan manusia dengan lingkungan hidup di dunia merupaka
ujian ketaatan bagi manusia itu sendiri, sebagai pengemban amanah pengelolaan.
Mejaga keteraturan juga identik dengan ketaatan, sedangkan merusak keteraturan
identik dengan kedurhakaan terhadap pencipta alam semesta.
MENJAGA MERUSAK
TAAT DURHAKA
(AKHLAQ)
SHALIH KAFIR
(AQIDAH)
WAJIB HARAM
(FIQH)
Dari bagan di atas
dapat disimpulkan bahwa menjaga kelestarian lingkungan hidup sama dengan rasa
ketaatan kita kepada Allah SWT sedangkan merusak kelestarian lingkungan hidup
sama dengan perbuatan durhaka kita kepada-Nya. Kajian ini berdasarkan aspek
Akhlaq. Dari aspek Aqidah menjaga sama dengan keshalihan kita kepada-Nya
sedangkan merusak adalah kekafiran kit kepada-Nya. Dari aspek Fiqh makan
menjaga adalah wajib sedangkan merusak adalah haram bagi yang melakukannya,
tidak hanya umat Islam saja melainkan seluruh umat manusia itu sendiri.
2.2. DASAR NASH FIQH LINGKUNGAN
a)
QS. Al-A’raf (7) Ayat 56
wur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=Ìs% ÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
56. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.[9]
Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan
di atas bumi. Kerusakanyang dimaksud adalah berhubungan dengan berbagai bentukk
kerusakan, seperti pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangan
yang dimaksud dengan kata “ba’da islahiha” adalah setelah Allah
memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk
dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.[10]
b)
Hadits Shahih Muslim, no.553
Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;
عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا
وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ
الطَّرِيقِ
"Semua amalan umatku ditampakkan kepadaku baik dan buruknya. Aku dapatkan di antara amal kebajikan adalah menghilangkan bahaya dari jalanan." (Shahih Muslim, no. 553).
Maksud kata أذى
dalam hadits tersebut adalah segala hal yang membahayakan atau mengganggu orang
yang lewat, baik itu berupa duri, batu, kotoran dan hal-hal lainnya,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi . Secara lebih luas hadits diatas
bisa dipahami bahwa kita dianjurkan untuk menjaga lingkungan agar selalu
bersih, terutama tempat-tempat yang biasa dilewati banyak orang.
2.3. MAQASID ASY-SYARIAH DALAM FIQH LINGKUNGAN
2.3.1. MAKNA MAQASID ASY-SYARIAH
Secara bahasa Maqasid asy-Syariah terdiri dari dua kata
yaitu Maqasid dan asy-Syariah. Maqasid berarti kesenjangan atau
tujuan. Merupakan bentuk jamak dari Maqsud yang berasal dari kata Qashada
yang berarti menghendaki dan memaksudkan, Maqasid berarti hal-hal
yang dikehendaki dan dimaksud.[11]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء[12] artinya Jalan menuju sumber air, jalan
menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[13]
Didalam
Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana
yang terdapat dalam surat al-Jassiyah ayat 18:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèΰ z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù wur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# w tbqßJn=ôèt ÇÊÑÈ
18. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[14]
Dapat disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam
perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya,
tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya
sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan
dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan
seluruh kehidupan.[15]
Setelah
menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu
mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid
Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah
secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh,
boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan
mereka.
Disini penulis
bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk
mengetahui Hikmah[16]
(nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat
dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun
tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat
(dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan
tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan
kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat
(tersier).
A.
PENDEKATAN DALAM MENGETAHUI MAQASHID AL-SYARI’AH
1.
Pendekatan Tekstual
Sebagai mana telah diketahui bahwa Alqur’an hanyalah ayat (tanda
–tanda) bukan hukum, para Ahli Usul fiqih sepakat menetapkan bahwa sebagian
ayat-ayat menjadi dalil hukum sehingga disebut dengan ayat Ahkam, dan
jumlahnya relatif sedikit. kecuali itu, ayat-ayat Ahkam hanya memuat
ajaran-ajaran pokok yang bersifat global, dan sebagian besar berisi
ketentuan-ketentuan hukum secara Ijmali.[17]
2. Pendekatan Kontekstual
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini menawarkan bermacam-macam harapan terhadap umat Islam,
dibidang kedokteran misalnya bagi keluarga yang tidak memiliki keturunan bisa
memperoleh keturunan melalui Inseminasi buatan / bayi tabung, sedangkan
ketentuan hukum secara eksplisit tidak diketemukan dalam Alqur’an dan hadits
bahkan dalam Ijma’ para ulama, dengan demikian permasalahan tersebut menjadi
ruang ijtihad Munthabiqi, apakah boleh umat Islam memperoleh keturunan melalui
inseminasi buatan?
Hal ini telah dijawab oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa tentang bayi tabung yang dikeluarkan pada
tanggal 29 November 1990 dalam fatwa tersebut di tegaskan bahwa:
1. Inseminasi buatan/Bayi tabung dengan sperma dan
ovum yang diambil dari suami yang sah, dibenarkan oleh Islam.
2. Inseminasi buatan / bayi tabung dengan sperma dan
ovum yang diambil dari pasangan suami isteri untuk isterinya yang lain hukumnya
haram.
3. Inseminasi buatan / bayi tabung dengan sperma dan
ovum yang diambil dari bukan pasangan suami isteri
hukumnya haram.[18]
Menurut
Frof. Dr. Asafri jaya bahwa keputusn MUI itu tidak terlepas dari analisis
Maqashid al-Syari’ah, sedangkan sumberdasarnya juga Alqur’an dan Hadits.
2.3.2. IMPLEMENTASI FIQH LINGKUNGAN
Menjadikan hablum minal ‘alam sebagai bagian dari rukun
iman; penjagaan lingkungan bernilai sebagai ibadah dan menjadi fardhu’ain.
Karena seperti dijelaskan diatas sebelumnya bahwa menjaga kelestarian
lingkungan adalah wajib, sedangkan merusak kelestarian lingkungan hidup adalah
haram. Semua itu berdasarkan hukum Maslahah Mursalah karena berhubungan
pada kebaikan untuk umat manusia itu sendiri.
Dalam
hal ini, Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab al-muwafaqat, merumuskan
“formulasi” tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syari’ah) ke dalam lima hal:
1)
Penjagaan agama (hifz ad-Din)
2)
Penjagaan jiwa (hifz an -nafs)
3)
Penjagaan akal (hifz al-‘Aql)
4)
Penjagaan keturunan (hifz an-Nasl)
5)
Penjagaan harta benda (hifz al-Mal)[19]
Al-Syatibi menambahlan, bahwa sesungguhnya Maqasid asy-Syari’ah ditujukan
untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan adama dan dunia, di mana bila
prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak
berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya, kenikmatan peri
kehidupan manusia.[20]
Yusuf Al-Qardhawi menambahkan bahwa posisi pemeliharaan ekologis/lingkungan
hidup (hifz al-‘Alam) dalam Islam, kewajiban dakwah pada dasarnya
merupakan kewajiban setiap pemeluk untuk melakukannya.[21]
Lebih
lanjut, secara substantif diskursus konservatif lingkungan hidup yang merasuk
“jantung” paling dalam fiqh al-bi’ah adalah pemulihan atau rehabilitasi
lingkungan yang sudah rusak. Dalam khazanah fiqh klasik terdapat diskursus
tentang tanah dalam konsep ihya’ al-Mamat (menghidupkan tanah yang telah
mati).[22]
Akan tetapi, seiring berjalannya “roda” sejarah, problem-problem lingkungan
mengalami perkembangan dan tidak hanya terbatas pada permasalahan Ihya’
al-Mamat. Perkembangan persoalan lingkungan tersebut terlihat, misalnya:
penanganan, pencemaran air, (dalam fiqih klasik permasalahan penanganan air
hanya terbatas pada persoalan pemanfaatannya dalam ibadah, padahal “semua yang
menentukan kesempurnaan pelaksanaan kewajiban juga menjadi wajib” (ma la
yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib).
BAB 3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pelestarian lingkungan hidup baik berupa penjagaan ataupun
pemeliharaan telah di atur dalam fiqh lingkungan itu sendiri, serta Al-quran
dan Sunnah pun telah mengajarkan dan menjelaskannya kepada kita. Penggunaan
sistem Maqasid asy-Syari’ah yang terdapat dalam Ushul Fiqh adalah
satu cara untuk bisa memahami dalil maupun fiqh lingkungan itu sendiri. Selain
itu Maslahah Mursalah bisa kita gunakan juga karena itu juga
memperhatikan aspek kebaikan untuk umat manusia meskipun tidak ada dalil pasti
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Hidup
yang saling berkaitan antara Allah SWT, manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan
hidup adalah tujuan Sang Khaliq menciptakan semuanya agar terciptanya
keharmonisan dalam kehidupan di muka bumi ini. Serta kita juga dianjurkan untuk
selalu menjaga kelestarian alam ini dalam satu sistem dan apabila sistem itu
terganggu maka akan menyebabkan porak-porandanya makhluk hidup yang kokoh dan
tergantung pada ekosistem atau lingkungan hidup di bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Minhaj
Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Imam Yahya bin Syarof an-Nawawi, Dar Ihya’
at-Turots al-‘Arobi, Beirut, Cet. II.
Yafie,
Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: UFUK PRESS, 2006
Yafie,
Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Jakarta: Mizan, cet.2, 1994
Al-Mawardi,
Imam, Al-Ahkam as-Shulthoniyyah, terj. Fadhli Bahri, Jakarta: Darul
Falah,2000
Lispedia.blogspot.co.id/2012/07/ushul-fiqh-konsep-maqashid-al-syariah.html?m=1
Pacipnuippnu-sugihwaras.blogspot.co.id/2014/09/pelestarian-lingkungan-dalam-islam.html?m=1
[1] Lihat, Ali Yafiie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta:
UFUK PRESS, 2006), hlm. 22.
[2] QS. Al-Hijr (15) Ayat 19 dan QS. Ar-rahman (55) Ayat 5.
[3] QS. Al-Anbiya’ (21) Ayat 16.
[4] QS. Shad (38) Ayat 27 dan QS. Al-Hijr (15) ayat 85.
[5] QS. Al-Isra (17) Ayat 44.
[6] QS. Ar-Rahman (55) Ayat 7-8.
[7] Ibid, Ayat 9.
[8] Lihat, Ali Yafiie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta:
UFUK PRESS, 2006), hlm. 42.
[9] QS. Al-A’raf (7) Ayat 56.
[10] Lihat Ibnu Hayyan, al-Bahru al-Muhiath, juz 5 (Beirut; Dar
al-Fikr,tt.), hlm. 256
[11] Lihat Ahmad Qarib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima,
1997), hlm. 170.
[12] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan
Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, hlm. 175
[13] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung:
Pustaka, 1994), h. 140.
[14] QS. Al-Jasiyah (45) Ayat 18.
[15] Asafri Jaya, Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud
Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966), hlm.
12.
[16] (Http:/Pesantren.or,
id, 29, master webnet, Com/ppssnh, malang/cgi bin/ content, Cgi/ Artikel/
kolom-gus/ Maqasshid - Syari’ah, Single, Down load, 31-03,2009.)
[17] Abu Zahrah, Ushul Fiqh , hlm. 121
[18] Asafri jaya, hlm. 163
[19] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, juz 1,
hlm. 109
[20] Ibid, hlm. 112.
[21] Fathurrahman, Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 94.
[22] Lihat, Imam Taqiy ad-Din Abu Bakr bin Muhammad al-Husyani al-Hishni
ad-Dimasyqi, kifayat al-Akhyar fi Himl Ghayat al-Ikhtishar, (Jakarta:
Nur Asia,t.t), juz 2, hlm. 315-317; Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali ibn Yusuf
al-Fayruzabadi asy-Syiradzi, al-Muhadzdzab di Fiqh al-Imam asy-Syafi’i (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.hlm. ), juz 1, hlm. 423-427, Lihat juga, Imam al-Mawardi, Al-Ahkam
as-Shulthoniyyah, terj. Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm.
298.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar