Rabu, 23 November 2016

FIQH LINGKUNGAN TENTANG KERUSAKAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA



KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat Islam, iman, dan kesempatan sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Fiqh Lingkungan Tentang Kerusakan dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.”
Makalah ini juga bisa menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah karunia Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk melestarikannya dan melindunginya, bukan untuk dieksploitasi secara tidak wajar sehingga timbul kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem yang berakibat pada terganggunya kelangsungan hidup di alam raya ini.
Dalam proses penyelesaian materi ini, tentunya penulis telah dibantu dengan segala arahan, koreksi, dan saran, untuk itu ucapan terima kasih disampaikan kepada:
·         Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. sebagai dosen mata kuliah “Fiqih dan Ushul Fiqih”.
·         Khoirul Anam sebagai asisten dosen mata kuliah “Fiqih dan Ushul Fiqih”.
·         Rekan-rekan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum 2016
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis, umumnya untuk para pembaca.
Yogyakarta, 26 September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
  
KATA PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................... 3
1.2  Rumusan Masalah.............................................................................. 4
1.3  Tujuan ............................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1     Definisi Fiqh Lingkungan.................................................................6
2.2     Dasar Nash Fiqh Lingkungan...........................................................9
2.3   Maqasid Asy-Syariah Dalam Fiqh Lingkungan..............................11
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan........................................................................................ 17
 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18








BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat drastis khususnya pada hal,lingkungan hidup atau sering kita sebut dengan sumber dya alamnya. Para pengusaha yang berduit itu bisa berbuat apa saja semau mereka aslalkan mereka mendapatkan keuntungan yang besar meskiipun mereka haru merusak alam raya ini. Itu sangat lah berlawanan fitrah manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai khalifah yang salah satu tugasnya adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dewasa ini, baik negara yang berteknologi maju dan kaya maupun negara berkembang dengan masyarakat agraris dan mskin dihadapkkan pada persoalan lingkungan hidup yang semakin lama cenderung berkembang semakin parah dan rumit. Ini terjadi karena satu pihak gejala kerusakan lingkungan hiidup semakin menonjjol, yang berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup umat manusia semakin besar. Sementara di lain pihak,eksploiitasi terhadap alam yang besar-besaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, semakin meningkat pula justru dengan alasan demi kelangsungan hidup umat manusia.  
Bila dikaitkan dengan faktor ekonomi duniia saat ini, maka penyebab terbesar kerusakan lingkungan adalah dari keinginan para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang banyak seperti yang telah dijelaskan di atas. “Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas.” Suatu konsep pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh para kapitalisme modern yang bertumpu pada pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya alam yang cenderung tanpa kendali. Kapitalisme modern dengan sikap hidup egosentris ditunjang dengan tersedianya energi yang berlimpah, mesin yang berteknologi tinggi, dan penggunaan teknologi yang secara sistematik meningkatkan output, membuat “pertumbuhan” menajdi hukum kehidupan dengan slogan yang didengarkan: “bertahan hidup dan berkembang terus atau berhentii dan mati.” [1]Darii slogan ini lah membuat para masyarakat di dunia ini lebih bersifat konsumerisme yang menjadikan proses kerusakan lingkungan hidup itu berkembang pesat.  
Dalam pandangan Islam, agama tidak bentrok dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena ilmu tidak bersifat sekuler, bahkan nilai-nilai agama selalu menjiiwai ilmu dan teknologi. Dalam pandangan agama, hidup manusia tidaklah terpisah dari ekosistemnya, melainkan integral. Dengan demikiian, sekalipun manusia menganggap dirinya berbeda dengan lingkungan hidupnya, namun manusia memiliki ikatan fungsional dan karenanya perlakuan terhadap alam pun berbeda.

1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1.      Apa itu fiqh lingkungan?
1.2.2.      Apa landasan nash tentang fiqh lingkungan?
1.2.3.      Bagaimana Maqasid Asy-Syariah dalam pelestarian lingkungan?


1.3. TUJUAN
1.3.1.      Mengetahui makna fiqh lingkungan.
1.3.2.      Menunjukan landasan nash tentang fiqh lingkungan.
1.3.3.      Menjelaskan hukum ushul fiqh tentang Maqasid Asy-Syariah dalam pelestarian lingkungan.















BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI FIQH LINGKUNGAN
Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada masalah sampah, pencemaran, penghijauan kembali hutan gundul, maupun sekedar pelestarian alam. Tetapi, lebih dari itu semua, masalah lingkungan hidup merpakan bagian dari suatu pandangan hidup; sebab ia merupakan kritis terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi, dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh pengejaran pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup manusia untuk melihat dirinya sendiri maupun pada titik-titik pengertian yang demikian inilah norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Al-Qur’an dan Sunnah, seperti dijelaskan garis-garis besarnya di atas, dapat pula memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan lingkungan hidup itu.
Adapun pilar dari fiqh lingkungan itu sendiri adalah apa yang terdapat dii dalam ajaran Islam, ada istilah Khalifah yakni sebutan yang digunakan Allah SWT untuk menjaga atau pengemban amanat Allah SWT untuk mrnjaga atau memelihara dan mengambankan alam demi untuk kepentiingan kemanusiaan. Artinya, manusia bertanggung jwab terhadap kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem yang sudah sedemikian rupa diciptakan oleh Allah SWT.
Allah SWT telah menciptakan alam semesta dengan ketentuan-ketentuan-Nya, menurut perhitungan yang sempurna.[2] Allah SWT tidak menciptakannya dengan bermain-main[3] atau dengan bathil, yakni sia-sia, tanpa arah dan tujuan yang benar.[4] Alama adalah bagian dari kehidupan, dan alam itu sendiri hidup. Alam bersama isinya (udara, air, tanah, tumbuhan, dan lain-lain) senantiasa bertasbih kepada Allah dengan cara sendiri-sendiri.[5] Allah SWT senantiasa mengingatkan kepada kita agar tidak melanggar aturan-aturan itu (tidak melampaui batas dalam neraca yang diterapkan),[6] dan menyuruh kita agar menjaga (menegakkan timbangan) itu demi keseimbangan ekosistem dunia.[7] Manusia dilarang merusak dan mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi, setelah ditata (perbaiki dengan suatu ukuran tertentu untuk menjaga keseimbangan itu”. Itulah ayat yang sering diulang-ulang di banyak tempat di Al-Qur’an. Demikian kerangka pandangan Islam tentang lingkungan hidup.
Fiqh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulum asy-syari’ah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi wacana lingkugan hidup (al-bi’ah al-hayatiyyah) tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu.
Ada 4 pilar pembahasan dari fiqh itu sendiri yang berkaitan dengan penataan kehidupan di dunia ini, yaitu:
(1)   Rub’u al-ibadat, hubungan antara makhluk dengan Sang Khaliq.
(2)   Rub’u al-Mualamat, hubungan menata hubunngan dengan sesama.
(3)   Rub’u al-Munakahat, hubungan manusia dengan lingkungan keluarga.
(4)   Rub’u al-Jinayat, menata tertib pergaulan manusia yang menjamin keselamatan dan ketentraman di dalam kehidupan.
Dari keempat pilar ini maka akan menciptakan suatu lingkungan hidup yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, dan bahagia lahir dan bathin, dunia dan akhirat, yang dalam istilah agama lazim disebut sa’adat al-darayn (kebahagiaan dunia-akhirat).
            Pemahaman masalah lingkungan hidup ( fiqh al-bi’ah) dan penanganannya (penyelamatan dan pelestarsian) perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina saat ini.[8] Maka dari itu fidh lingkungan ini jjuga sangat berpengaruh pada keimanan kita kepada Allah SWT. Keselarasan manusia dengan lingkungan hidup di dunia merupaka ujian ketaatan bagi manusia itu sendiri, sebagai pengemban amanah pengelolaan. Mejaga keteraturan juga identik dengan ketaatan, sedangkan merusak keteraturan identik dengan kedurhakaan terhadap pencipta alam semesta.
MENJAGA                      MERUSAK
TAAT                               DURHAKA (AKHLAQ)
SHALIH                           KAFIR (AQIDAH)
WAJIB                              HARAM (FIQH)
            Dari bagan di atas dapat disimpulkan bahwa menjaga kelestarian lingkungan hidup sama dengan rasa ketaatan kita kepada Allah SWT sedangkan merusak kelestarian lingkungan hidup sama dengan perbuatan durhaka kita kepada-Nya. Kajian ini berdasarkan aspek Akhlaq. Dari aspek Aqidah menjaga sama dengan keshalihan kita kepada-Nya sedangkan merusak adalah kekafiran kit kepada-Nya. Dari aspek Fiqh makan menjaga adalah wajib sedangkan merusak adalah haram bagi yang melakukannya, tidak hanya umat Islam saja melainkan seluruh umat manusia itu sendiri.

2.2. DASAR NASH FIQH LINGKUNGAN
a)      QS. Al-A’raf (7) Ayat 56
Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ  
56. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.[9]
Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakanyang dimaksud adalah berhubungan dengan berbagai bentukk kerusakan, seperti pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangan yang dimaksud dengan kata “ba’da islahiha” adalah setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.[10]

b)     Hadits Shahih Muslim, no.553

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;

عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ


"Semua amalan umatku ditampakkan kepadaku baik dan buruknya. Aku dapatkan di antara amal kebajikan adalah menghilangkan bahaya dari jalanan." (Shahih Muslim, no. 553).
Maksud kata أذى dalam hadits tersebut adalah segala hal yang membahayakan atau mengganggu orang yang lewat, baik itu berupa duri, batu, kotoran dan hal-hal lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi  . Secara lebih luas hadits diatas bisa dipahami bahwa kita dianjurkan untuk menjaga lingkungan agar selalu bersih, terutama tempat-tempat yang biasa dilewati banyak orang.

2.3. MAQASID ASY-SYARIAH DALAM FIQH LINGKUNGAN
2.3.1. MAKNA MAQASID ASY-SYARIAH
               Secara bahasa Maqasid asy-Syariah terdiri dari dua kata yaitu Maqasid dan asy-Syariah. Maqasid berarti kesenjangan atau tujuan. Merupakan bentuk jamak dari Maqsud yang berasal dari kata Qashada yang berarti menghendaki dan memaksudkan, Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksud.[11] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء[12] artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[13]
               Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah ayat 18:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
18. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[14]
                   Dapat disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.[15]
               Setelah menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka.
               Disini penulis bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah[16] (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).

A.    PENDEKATAN DALAM MENGETAHUI MAQASHID AL-SYARI’AH
1.      Pendekatan Tekstual
           Sebagai mana telah diketahui bahwa Alqur’an hanyalah ayat (tanda –tanda) bukan hukum, para Ahli Usul fiqih sepakat menetapkan bahwa sebagian ayat-ayat menjadi dalil hukum sehingga disebut dengan ayat Ahkam, dan jumlahnya relatif sedikit. kecuali itu, ayat-ayat Ahkam hanya memuat ajaran-ajaran pokok yang bersifat global, dan sebagian besar berisi ketentuan-ketentuan hukum secara Ijmali.[17]

2.      Pendekatan Kontekstual
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menawarkan bermacam-macam harapan terhadap umat Islam, dibidang kedokteran misalnya bagi keluarga yang tidak memiliki keturunan bisa memperoleh keturunan melalui Inseminasi buatan / bayi tabung, sedangkan ketentuan hukum secara eksplisit tidak diketemukan dalam Alqur’an dan hadits bahkan dalam Ijma’ para ulama, dengan demikian permasalahan tersebut menjadi ruang ijtihad Munthabiqi, apakah boleh umat Islam memperoleh keturunan melalui inseminasi buatan?
Hal ini telah dijawab oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa tentang bayi tabung yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1990 dalam fatwa tersebut di tegaskan bahwa:

1. Inseminasi buatan/Bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari suami yang sah, dibenarkan oleh Islam.
2. Inseminasi buatan / bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami isteri untuk isterinya yang lain hukumnya haram.
3. Inseminasi buatan / bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan pasangan suami isteri hukumnya haram.[18]
Menurut Frof. Dr. Asafri jaya bahwa keputusn MUI itu tidak terlepas dari analisis Maqashid al-Syari’ah, sedangkan sumberdasarnya juga Alqur’an dan Hadits.

2.3.2. IMPLEMENTASI FIQH LINGKUNGAN
                        Menjadikan hablum minal ‘alam sebagai bagian dari rukun iman; penjagaan lingkungan bernilai sebagai ibadah dan menjadi fardhu’ain. Karena seperti dijelaskan diatas sebelumnya bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah wajib, sedangkan merusak kelestarian lingkungan hidup adalah haram. Semua itu berdasarkan hukum Maslahah Mursalah karena berhubungan pada kebaikan untuk umat manusia itu sendiri.
                        Dalam hal ini, Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab al-muwafaqat, merumuskan “formulasi” tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syari’ah) ke dalam lima hal:
1)      Penjagaan agama (hifz ad-Din)
2)      Penjagaan jiwa (hifz an -nafs)
3)      Penjagaan akal (hifz al-‘Aql)
4)      Penjagaan keturunan (hifz an-Nasl)
5)      Penjagaan harta benda (hifz al-Mal)[19]
                        Al-Syatibi menambahlan, bahwa sesungguhnya Maqasid asy-Syari’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan adama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya, kenikmatan peri kehidupan manusia.[20] Yusuf Al-Qardhawi menambahkan bahwa posisi pemeliharaan ekologis/lingkungan hidup (hifz al-‘Alam) dalam Islam, kewajiban dakwah pada dasarnya merupakan kewajiban setiap pemeluk untuk melakukannya.[21]
                        Lebih lanjut, secara substantif diskursus konservatif lingkungan hidup yang merasuk “jantung” paling dalam fiqh al-bi’ah adalah pemulihan atau rehabilitasi lingkungan yang sudah rusak. Dalam khazanah fiqh klasik terdapat diskursus tentang tanah dalam konsep ihya’ al-Mamat (menghidupkan tanah yang telah mati).[22] Akan tetapi, seiring berjalannya “roda” sejarah, problem-problem lingkungan mengalami perkembangan dan tidak hanya terbatas pada permasalahan Ihya’ al-Mamat. Perkembangan persoalan lingkungan tersebut terlihat, misalnya: penanganan, pencemaran air, (dalam fiqih klasik permasalahan penanganan air hanya terbatas pada persoalan pemanfaatannya dalam ibadah, padahal “semua yang menentukan kesempurnaan pelaksanaan kewajiban juga menjadi wajib” (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib).




















BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
                        Pelestarian lingkungan hidup baik berupa penjagaan ataupun pemeliharaan telah di atur dalam fiqh lingkungan itu sendiri, serta Al-quran dan Sunnah pun telah mengajarkan dan menjelaskannya kepada kita. Penggunaan sistem Maqasid asy-Syari’ah yang terdapat dalam Ushul Fiqh adalah satu cara untuk bisa memahami dalil maupun fiqh lingkungan itu sendiri. Selain itu Maslahah Mursalah bisa kita gunakan juga karena itu juga memperhatikan aspek kebaikan untuk umat manusia meskipun tidak ada dalil pasti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
                        Hidup yang saling berkaitan antara Allah SWT, manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan hidup adalah tujuan Sang Khaliq menciptakan semuanya agar terciptanya keharmonisan dalam kehidupan di muka bumi ini. Serta kita juga dianjurkan untuk selalu menjaga kelestarian alam ini dalam satu sistem dan apabila sistem itu terganggu maka akan menyebabkan porak-porandanya makhluk hidup yang kokoh dan tergantung pada ekosistem atau lingkungan hidup di bumi ini.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Imam Yahya bin Syarof an-Nawawi, Dar Ihya’ at-Turots al-‘Arobi, Beirut, Cet. II.
Yafie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: UFUK PRESS, 2006
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Jakarta: Mizan, cet.2, 1994
Al-Mawardi, Imam, Al-Ahkam as-Shulthoniyyah, terj. Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah,2000
Lispedia.blogspot.co.id/2012/07/ushul-fiqh-konsep-maqashid-al-syariah.html?m=1
Pacipnuippnu-sugihwaras.blogspot.co.id/2014/09/pelestarian-lingkungan-dalam-islam.html?m=1


[1] Lihat, Ali Yafiie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta: UFUK PRESS, 2006), hlm. 22.
[2] QS. Al-Hijr (15) Ayat 19 dan QS. Ar-rahman (55) Ayat 5.
[3] QS. Al-Anbiya’ (21) Ayat 16.
[4] QS. Shad (38) Ayat 27 dan QS. Al-Hijr (15) ayat 85.
[5] QS. Al-Isra (17) Ayat 44.
[6] QS. Ar-Rahman (55) Ayat 7-8.
[7] Ibid, Ayat 9.
[8] Lihat, Ali Yafiie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta: UFUK PRESS, 2006), hlm. 42.
[9] QS. Al-A’raf (7) Ayat 56.
[10] Lihat Ibnu Hayyan, al-Bahru al-Muhiath, juz 5 (Beirut; Dar al-Fikr,tt.), hlm. 256
[11] Lihat Ahmad Qarib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), hlm. 170.
[12] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, hlm. 175
[13] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140.
[14] QS. Al-Jasiyah (45) Ayat 18.
[15] Asafri Jaya, Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966), hlm. 12.
[16] (Http:/Pesantren.or, id, 29, master webnet, Com/ppssnh, malang/cgi bin/ content, Cgi/ Artikel/ kolom-gus/ Maqasshid - Syari’ah, Single, Down load, 31-03,2009.)
[17] Abu Zahrah, Ushul Fiqh , hlm. 121
[18] Asafri jaya, hlm. 163
[19] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, juz 1, hlm. 109
[20] Ibid, hlm. 112.
[21] Fathurrahman, Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 94.
[22] Lihat, Imam Taqiy ad-Din Abu Bakr bin Muhammad al-Husyani al-Hishni ad-Dimasyqi, kifayat al-Akhyar fi Himl Ghayat al-Ikhtishar, (Jakarta: Nur Asia,t.t), juz 2, hlm. 315-317; Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali ibn Yusuf al-Fayruzabadi asy-Syiradzi, al-Muhadzdzab di Fiqh al-Imam asy-Syafi’i (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.hlm. ), juz 1, hlm. 423-427, Lihat juga, Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Shulthoniyyah, terj. Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm. 298.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar