Rabu, 23 November 2016

nikah beda agama menurut al quran



A.    LATAR BELAKANG
Kontroversi pernikahan beda agama ini semakin gencar ketika muncul isu-isu adanya kekosongan hukum di Indonesia mengenai kawin beda agama yang sesuai dengan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dianggap tidak lengkap, karena tidak memuat pasal-pasal tentang hal itu.[1] Betulkah terjadi kekosongan hukum di Indonesia?
 Pada dasarnya akhir-akhir ini, kegiatan kawin-kawin antara penganut agama yang berbeda banyak terjadi, terutama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen, tetapi di daerah kelahiran saya di Bali banyak keuarga besar saya yang menikah dengan orang-orang hindu juga.
Perkawinan haruslah dalam kondisi seragam, lurus, dan mantap. Suatu kehidupan tak akan tegak tanpa tanpa keragaman. Dalam hal ini iman kepada Allah SWT adalah penyangga hidup bahagia yang tak bisa ditukar dengan perasaan-perasaan lainnya. Jika hati telah kosong dari iman ini, maka hati seseorang mukmin tidak akan bisa kontak dengannya dan tidak akan bisa tentram dengannya serta tidak akan bisa tentram dengannya serta tidak akan bisa tenang dan senang berdampingan dengannya.[2]

B.     AYAT DAN TERJEMAHANNYA
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[3]

C.    MAKNA PER KATA
M»x.ÎŽô³ßJø9$# : Orang yang menyembah berhala dan tidak menganut Agama Samawi[4]
ptBV{ : Para Budak
Nä3÷Gt6yfôãr& : Menakjubkan Kalian
D.    ASBABUN NUZUL
Oleh Al-Wahid,diriiwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sebagai berikut:
“Rasulullah telah mengutus Mutsad Al-Ghawany untuk pergi ke Mekkah guna menjemput sejumlah kaum mukmin yang masih tertinggal di sana untuk dibawa ke Madinah. Kedatangan Murtsad ke Mekkah itu terdengar oleh seorang wanita musyrik bernama ‘Anaaq, yaitu teman lama Murtsad sejak zaman jahiliyyah. Dia adalah seorang perempuan yang rupawan. Semenjak Mutsad berhijrah ke Madinah, mereka belum pernah bertemu.Oleh sebab itu, setelah ia mendengar kedatangan Murtsad ke Mekkah, iia segera menemuinya. Setelah bertemu, maka ‘Anaaq mengajak Murtsad untuk kembali berkasihsayangan dan bercumbuan dengannya seperti dahulu. Akan tetapi Murtsad menolak dan menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita berdua; dan hukum Islam melarang kita untuk berbuat sesuatu yang tidak baik.” Mendengar jawaban itu ‘Anaaq berkata: “Masih ada jalan keluar bagi kita, yaitu baiklah kita menikah saja.” Murtsad menjawab: “ Aku setuju, tetapi aku lebih dahulu meminta persetujuan kepada Rasulullah SAW.” Setelah kembali dari Madinah, Murtsad melaporkan kepada Rasulullah hasil pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dan disamping itu diceritakannya pula tentang pertemuannya dengan ‘Anaaq, dan maksudnya untuk menikahinya. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW: “Halalkan kepadaku untuk menikahinya, padahal ia masih musyrik?” Maka turun ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan itu.[5]

E.     MUNASABAH AYAT
1.      QS. Al-Maidah(5): 5
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  
5. Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.[6]
Dari ayat diatas ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama’ slah tidak membolehkan lelaki Muslim mengawini wanita non-muslim secara mutlak, sedangkan sebagian lainnya membolehkan mengawini wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan wanita Majusi.[7] Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa apabila ditanya tentang hukumnya seorang laki-laki Muslim kaawin dengan perempuan Nasrani dan Yahudi, ia menjawab: ‘Allah teah mengharamkan perempuan-perempuan Musyrik itu bagi laki-laki mukmin, dan aku tidak tahu syirik apalagi yang lebih hebat selain si perempuan itu mengatakan: ‘Tuhan adalah Isa’ bukankah Isa itu seorang hamba di antara hamba-hamba Allah yang lain”.[8]
Dalam hal mengawini wanita bukan musyrik dan bukan pula Ahl al-Kitab seperti Shaib, Hindu, Budha, Shinto atau Konfutze, Al-Qur’an berdiam diri. Dan hal ini menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak?
Menurut Ath-Thabari mereka digolongkan sebagai Ahl al-Kitab, karena mereka menganut paham tauhid (mengesakan tuhan). Bahkan menurut data sejarah, mereka mempunyai Rasul dan Kitab suci (tergolong agama samawi).[9]

2.      Hadits 1
Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwa suatu ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu ‘Umar ditanya tentang bagaimana hukum menikah dengan perempuan Nasrani dan yahudi? Kemudia Ibnu ‘Umar menjawab bahwa menikahi perempuan Nasrani dan Yahudi adalah haram, ia menegaskan argumentasinya dengan berkata bahwa Allah SWT telah melearang seluruh laki-laki muslim menikahi dengan seorang perempuan Musyrikat dan orang syirik yang paling besar adalah apabila seorang perempuan berkata bahwa ‘Isa adalah tuhannya, padahal ‘Isa adalah hamba Allah.[10] Hal ini disandarkan pada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi. Mereka (Orang Yahudi) berkata bahwa ‘Uzair adalah anak Allah dan Orang Nasrani berkata bahwa ‘Isa adalah anak Allah.
وَقَالَتِ الْيَهُوْدِ عُزَيْرُ اِبْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللهِ ذَالِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ[11]
Dengan dalil ini juga Ibnu ‘Umar mengharamkan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab dan tentunya pendapatnya inibersebrangan dengan pendapat jumhur ulama’dan juga praktik sahabat, seperti ‘Utsman yang menikahi Nailal binti Al-Gharamidah, Ibnu’Abbas, Thalhah, dan Jabir.[12]

3.      Hadits 2
Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari disebutkan bahwadalam Surat Al- Baqarah(2): 221 Allah mngharamkan kepada seluruh laki-laki Muslim menikahi wanita-wanita Musyrikat, akan tetapi menurut beliau ada sebuah pengecualian. Menurut beliau halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab, karena surat Al-Maidah(5): 5, yng turun setelah Surat Al-Baqarah(2): 221, telah membolehkan untuk menikah dengan wanita-wanita Ahl al-Kitab.[13]

F.     TAFSIR AYAT
Ayat dalam QS. Al-Baqarah (2): 221 menimbulkan dua konsekuensi hukum, yaitu larangan lelaki muslim mengawini wanita musyrik dan larangan wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik.
Yang dimaksud dengan musyrik pada ayat di atas, menurut Jarir Ath-Thabari adalah para penyembah berhala dikalangan orang-orang Arab yang hidup pada masa Nabi SAW.[14]
Al-Mawardi menjelaskan bahwa ada tiga pendapat tentang penafsiran kata Musyrik dalam ayat tersebut: Yang pertama, yang dimaksud musyrik dalam ayat ini adalah mencakup seluruh orang musyrik, baik kitab ataupun non-Kitab, dan hukum yang termuat di dalam aya tersebut tidak ternasakh (terhapus) sama sekali, sehingga menurut pendapat yang pertama ini konsekwensinya adalah tidak diperbolehkan bagi seluruh umat Muslim menikahi orang-orang musyrik untuk selamanya. Yang kedua, yang dimaksud Musyrikut dalam ayat itu hanyalah Musyrikut Arab dan orang-orang yang beragama Ahl al-Kitab, dan ayat itu tidak ternasakh sama sekali sebagaimana kasus yang dialami oleh sahabat Qatadah dan Sa’id bin Zubair. Yang Ketiga, yang dimaksud Musyrikat dari ayat itu adalah seluruh Musyrikat (baik Arab maupun ‘Ajam) dan dikecualikan orang-orang Kitabiyah, karena menurut pendapat ketiga—ayat ini ternasakh oleh Surat Al-Maidah(5): 5.[15]
Namun menurut hemat penulis, Musyrik yang disebut pada ayat tersebut adalah berlaku secara umum, yakni semua paham keagamaan yang menyembah selain Allah SWT. Yang berarti mereka tidak boleh kawin dengan muslimin.
Dua hati yang saling bertantangan itu akan membawa pada kehancuran, keberantakan, permusuhan dan pertentangan. Yang satu beriman dan baik, sedangkan pasangannya musyrik dan durhaka. Maka dari itu Islam mengharamkan perkawinan dengan orang Musyrik dan dinilai sebagai perkawinan yang bathil yang tidak bisa seiring dengan Syari’at Allah.
Perempuan yang Musyrik tidak akan bisa melakukan perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Islam juga mengharamkan perbuatan khianat dan mewajibkan amanat, sedang seorang Musyrik juga tidak bisa membahagiakan suaminya, dan tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap suaminya yang beriman kepada Allah dan hari akhir, karena antara jiwa keduanya ada jurang pemisah yang dalam.[16]

G.    TAHLIL AYAT
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitab bukalah termasuk dalam kategori Musyrik. Dalam Al-fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa dalam jumhur ulama salaf dan khalaf, termasuk empat imam madzhab, mempunyai pendapat yang sama Ibnu Taimiyyah menjelaskan ada 3 alasan yang mendukung hal ini, yaitu:
a.       Perbedaan Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Al-Qur’an memang dibedakan.
b.      Surat Al-Baqarah bersifat umum, di mana isinya memuat pesan larangan menikahi wanita Musyrik secara umum, sedangkan dalam Al-Maidah bersifat Khusus, yaitu pembolehan menikahi perempuan yang terbatas pada Ahl al-Kitab . Dalam kondisi seperti ini, yang khusus lebih diprioritaskan dari yang umum.
c.       Al-Maidah merupakan Nasakh dari Surat Al-Baqarah. Dalam hal ini Ulama sepakat bahwa Al-Maidah turun setelah Al-Baqarah.[17]
Dalam memahami makna tafsir ayat-ayat di atas maka penulis mengambil beberapa penjelasan dari beberapa ahli tafsir, yaitu:
1.      Ibnu Jarir Ath-Thabari
Menurut ketentuan QS. Al-Maidah(5): 5 yakni: “Dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab, bila kamu membayar mas kawin mereka”. (Al-Maidah(5): 5). Ath-Thabari membenarkan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatannya dari kalangan Ahl al-Kitab. Yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil. Ath-Thabari mengartikan Al-Muhsanat dengan wanita merdeka yang menjaga kehormatannya.[18] Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-baqarah(2): 221, yaitu: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanitaMusyrik sebelum mereka beriman. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Muslim) sebelum mereka beriman.” Haram hukumnya wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, sedang keharaman laki-laik Muslim mengawini wanita non-Muslim Ahl al-Kitab telah dinasakh oleh ayat 5 Surat Al-Maidah.
2.      Rasyid Ridha
Berdasarkan ketentuan ayat 5 dalam Surat Al-Maidah, Rasyid Ridha membolehkan laik-laki Muslim menikahi wanita Kitabiyah baik Dzimmiah maupun Harbiah, dengan alasan bahwa ayat wa Al-Muhsanat tersebut di ataf kan dengan ayat sebelumnya wa –ta- am dan seterusnya, yang menegaskan bahwa sesemblihan Ahl al-Kitab halal bagi orang Muslim, maka menikahi wanita Kitabiyah juga halal bagi laki-laki Muslim.[19]
Sedangkan kata Musyrikat pada ayat 221 Surat Al-Baqarah diartikan sebagai wanita Musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab. Ahl al-Kitab tidak termasuk Musyrik sehingga halal menikahinya sebagaimana ditegaskan dalama ayat 5 Surat Al-Maidah. Rasyid Ridha tidak memasukkan orang-orang Majusi sebagai Musyrik dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat fuqaha dan mayoritas ahli tafsir.[20]
3.      Al-Jassas
Berdasarkan Al-Baqarah ayat 221, laki-laki Muslim dilarang menikahi wanita Musyrikat, yaitu mereka yang menyembahberhala dan tidak termasukwanita-wanita Yahudi dan Nasrani, mereka telah tegas dinyatakankebolehannya untuk dinikahi sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Maidah ayat 5. Di samping itu banyak riwayat yang menyatakan bahwa ada di antara para sahabat yang menikah dengan wanita-wanita Kitabiyah, seperti Utsman bin Affan menikah dengan Nailal binti Al-Farasifah Al-Kabilah dan sebagainya. Adapun hadits yang dinyatakan oelh Ali bin Abi Thalib yang melarang menikahi wanita Ahl al-Kitab menurut Al-Jassas adalah “Maqtu’”, sehinga hal itu tidak akan berpengaruh kepada kehidupan rumah tangga.[21]

H.    PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Komplikasi Hukum Islam (KHI) yang diinstrusikan oleh Presiden kepada Menteri Agama dengan No. 1/1991, untuk disebarluaskan dan digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Dalam konsideran Inpres tersebut, dinyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman oleh Instansi Pemerintahan dan masyarakat yang memerlukannya dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Pernyataan diatas, menunjukan bahwa KHI berfungsi sebagai hukumu materiil hukum Islam yang berlaku di Indonesia, selain UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Karena sumber KHI mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi SAW, kitab-kitab fiqih, dan ra’yi (ijtihad kolektif), maka KHI memenuhi syarat disebut sebagai sumber hukum. [22]
Karena perkawinan merupakan salah satu muatan KHI, maka di dalamnya terdapat aturan mengenai perkawinan beda agama. Pasal yang mengatur tentang hal itu adalah pasal 40 huruf “c” dan pasal 44. Pasal yang disebutkan di atas pertama tidak membenarkan lelaki muslim mengawini wanita non-muslim, sedangkan pasal kedua menyatakan sebaliknya, yaitu tidak membenarkan wanita muslimah dikawini oleh lelaki non-muslim.
Penegasan KHI di atas tidak membedakan agama bagi orang-orang non-muslim; apakah mereka itu Katholik, Kristen, Protestan, Hindu, atau Budha. Kalau demikian, dapatkah dikatakan bertentangan dengan Al-Qur’an, khususnya mengenai kebolehan lelaki muslim mengawini wanita Ahl al-Kitab.
Menurut Dr. M. Tahir Azhari,penegasan KHI itu sangat bermanfaat dari sudut kemaslahatan Islam, khususnya dalam hal memelihara keutuhan aqidah. Selanjutnya dikatakan bahwa ketentuan KHI tersebut mengenai hasil Ijtihad ‘Umar bin Khattab, yang ketika beliau menjabat sebagai khalifah, melarang lelaki muslim mengawini wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani)[23]  
Sejalan dengan pendapat Bahrun Mertosukarto, S.H. mengutip penjelasan pasal 2:1, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuatu dengan UUD 1945. Karenanya, perkawinan antara dua orang yang berlainan agama tidak sah dan bukan perkawinan. Selanjutnya, ia katakan bahwa membuat ketentuan untuk melegalisasikan perkawinan antar agama, berarti membiarkan orang merusak integritas agama, serta bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945[24]
















KESIMPULAN
     Dapat difahami bahwa pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrikat adalah HARAM, begitu juga menikahkan wanita-wanita Muslim dengan laki-laki Musyrik. Akan tetapi, beda halnya  dengan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab yang menjaga kehormatannya.Perkawinan itu halal dilakukan keduangnya bila  di antara keduanya telah terajut sebuah tali kasih sayang dan sanggup untuk mewujudkan tujuan dari pernikahan, yaitu terbentuknya sebuah tatanan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan penuh dengan rahmat. Selain itu bila dikatikan dengan KHI (Komplikasi Hukum Islam) yang berlaku di Indonesia maka KHI sama sekali tidak bertentangan dengan hukum yang ada di dua nash (Al-Qur’n dan Sunnah). Bahkan, aturan dalam KHI tersebut merupakan penafsiran dari surat Al-Maidah ayat 5, sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia.










DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an, 2005, Jakarta: Penamadani.
Al-Qurthubi, Syeikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, 2008, Jakarta:Pustaka Azzam.
Syakir, Syeikh Ahmad, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, 2014, Jakarta: Darus Sunnah Press.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Jakarta : CV. Toha Putra.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani.




[1] Lihat Prof. Dr. Umar Shihab, MA, Kontekstual Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm.321.
[2] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 216.
[3] Al-Baqarah(2): 221
[4] Menurut dia perempuan yang menyembah berhala dan tidak menganut Agama Samawi disebut Musyrikat dan kalau laki-laki disebut Musyrik. Dia juga mengemukakan bahwa orang-orang Majusi termasuk pada golongan Musyrik. Lebih luas lagi dia mendefinisikan bahwa musyrik adalah tiap-tiap orang kafir yang memeluk Agama Islam, termasuk juga orang yang menyembuh berhala, Orang Majusi, Yahudi, Nasrani, dan orang yang keluar dari Agama Islam (Murtad). Tiap-tiap dari mereka itu haram untuk dinikahkan dengan wanita Muslim. Lebih lanjut lihat Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an, Juz I (t.tp,: t.p., t.t.), hlm. 282-290.
[5] Lihat Syeikh Muhammad Syakhir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1), Darus Sunnah Press: Jakarta, 2014, hlm. 294-295
[6] Al-Maidah(5): 5
[7] Pendapat ulama’ salaf di atas dikutip oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar), Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 186.
[8] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 210.
[9] Pendapat ulama’ salaf di atas dikutip oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar), Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 193.
[10] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardazbah Al-Bukhori al-Ja’fi, Shahih Bukhori, hlm. 172, Bab Qaul Allah Ta’ala: Wala Tankihu Al-Musyrikatu Hatta Yu’minna walaamatun Mu’minatun Khairun Min Musyrikatin Walau A’jabatkum, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Nafi’. Lihat juga Abi Bakr Ar-Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an (Beirut Lubnan: Dar Al-Fikr, 1993), I: 455; II: 459-460.
[11] At-taubah (9): 30
[12] Lihat M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-Hadisah, cet. Ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 12, lihat juga Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rawai’ Al-Bayan, hlm. 287.
[13] Diriwayatkan oleh  ‘Ammar dalam, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari Jami’ Al-bayan di Ta’wil Al-Qur’an, cet. Ke-2 (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’rifah, 1972), hlm. 512
[14] Pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari di atas, termaktub dalam kitab Sayyid Muhamad Rasyid ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar), Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 193.
[15] Imam Al-Mawardi, An-Nukt wa Al-‘Uyun, Tafsir Al-Mawardi, Juz ke-1 (Beirut Lubnan: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.t.), hlm. 281. Muhammad Rasyid Ridho dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim, Asy-Syahir bi Tafsir Al-Manar, cet. Ke-2, juz II (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif, ,t.t.), hlm. 350
[16] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 216
[17] Taqiyuddin ibn Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, (Beirut Lubnan: Dar Al-Kutub, Al-Ilmiyyah, , t.t.), jilid III, hlm. 116-117.
[18] Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Beirut Lubnan: Dar Al-Fikr, 1978), hlm. 66-68
[19] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif, [t.t.],), jilid IV, hlm. 180
[20] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif, [t.t.],), jilid III, hlm. 384
[21] Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an (Beirut Lubnan: Dar Al-Fikr, 1985).
[22] Pasal 40 huruf “c” berbunyi, “Dilarang melangsungkan perkawinan antara pria Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam. Sedangkan pasal 44 berbunyi, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.” Baca, Achmad Roestandi dan Muchjidien Effendie S., Komentar atas UU No. 7/1989, Dilengkapi Komplikasi Hukum Islam, Nusantara Pres, Bandung, 1991, hlm.251-252.
[23] Lihat M. Thahir Azhari, Mimbar Hukum, Yayasan Al-Hikmah dan Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, No. 4, 1991, h. 17-18
[24] Lihat Bachrun Mertosukarto, “Hak Asasi Manusia Dalam Perkawinan”, dalam Majalah Amanah, No. 149-150, Tahun 1992, hlm. 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar