A.
LATAR BELAKANG
Kontroversi pernikahan beda agama ini semakin gencar ketika muncul
isu-isu adanya kekosongan hukum di Indonesia mengenai kawin beda agama
yang sesuai dengan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dianggap tidak lengkap,
karena tidak memuat pasal-pasal tentang hal itu.[1] Betulkah
terjadi kekosongan hukum di Indonesia?
Pada dasarnya akhir-akhir
ini, kegiatan kawin-kawin antara penganut agama yang berbeda banyak terjadi,
terutama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen, tetapi di daerah
kelahiran saya di Bali banyak keuarga besar saya yang menikah dengan
orang-orang hindu juga.
Perkawinan haruslah dalam kondisi seragam, lurus, dan mantap. Suatu
kehidupan tak akan tegak tanpa tanpa keragaman. Dalam hal ini iman kepada Allah
SWT adalah penyangga hidup bahagia yang tak bisa ditukar dengan
perasaan-perasaan lainnya. Jika hati telah kosong dari iman ini, maka hati
seseorang mukmin tidak akan bisa kontak dengannya dan tidak akan bisa tentram
dengannya serta tidak akan bisa tentram dengannya serta tidak akan bisa tenang
dan senang berdampingan dengannya.[2]
B.
AYAT DAN TERJEMAHANNYA
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
221. Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.[3]
C.
MAKNA PER KATA
ptBV{ : Para Budak
Nä3÷Gt6yfôãr& : Menakjubkan Kalian
D.
ASBABUN NUZUL
Oleh
Al-Wahid,diriiwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sebagai berikut:
“Rasulullah telah mengutus Mutsad Al-Ghawany untuk pergi ke Mekkah
guna menjemput sejumlah kaum mukmin yang masih tertinggal di sana untuk dibawa
ke Madinah. Kedatangan Murtsad ke Mekkah itu terdengar oleh seorang wanita
musyrik bernama ‘Anaaq, yaitu teman lama Murtsad sejak zaman jahiliyyah. Dia
adalah seorang perempuan yang rupawan. Semenjak Mutsad berhijrah ke Madinah,
mereka belum pernah bertemu.Oleh sebab itu, setelah ia mendengar kedatangan
Murtsad ke Mekkah, iia segera menemuinya. Setelah bertemu, maka ‘Anaaq mengajak
Murtsad untuk kembali berkasihsayangan dan bercumbuan dengannya seperti dahulu.
Akan tetapi Murtsad menolak dan menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita
berdua; dan hukum Islam melarang kita untuk berbuat sesuatu yang tidak baik.” Mendengar
jawaban itu ‘Anaaq berkata: “Masih ada jalan keluar bagi kita, yaitu baiklah
kita menikah saja.” Murtsad menjawab: “ Aku setuju, tetapi aku lebih dahulu
meminta persetujuan kepada Rasulullah SAW.” Setelah kembali dari Madinah,
Murtsad melaporkan kepada Rasulullah hasil pekerjaan yang ditugaskan kepadanya
dan disamping itu diceritakannya pula tentang pertemuannya dengan ‘Anaaq, dan
maksudnya untuk menikahinya. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW: “Halalkan
kepadaku untuk menikahinya, padahal ia masih musyrik?” Maka turun ayat ini
sebagai jawaban atas pertanyaan itu.[5]
E.
MUNASABAH AYAT
1.
QS. Al-Maidah(5): 5
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
5. Pada hari ini
Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
Termasuk orang-orang merugi.[6]
Dari ayat diatas ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama’ slah tidak
membolehkan lelaki Muslim mengawini wanita non-muslim secara mutlak, sedangkan
sebagian lainnya membolehkan mengawini wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan
Nasrani) dan wanita Majusi.[7]
Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa apabila ditanya
tentang hukumnya seorang laki-laki Muslim kaawin dengan perempuan Nasrani dan
Yahudi, ia menjawab: ‘Allah teah mengharamkan perempuan-perempuan Musyrik
itu bagi laki-laki mukmin, dan aku tidak tahu syirik apalagi yang lebih hebat
selain si perempuan itu mengatakan: ‘Tuhan adalah Isa’ bukankah Isa itu seorang
hamba di antara hamba-hamba Allah yang lain”.[8]
Dalam hal mengawini wanita bukan musyrik dan bukan pula Ahl
al-Kitab seperti Shaib, Hindu, Budha, Shinto atau Konfutze, Al-Qur’an
berdiam diri. Dan hal ini menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak?
Menurut Ath-Thabari mereka digolongkan sebagai Ahl al-Kitab,
karena mereka menganut paham tauhid (mengesakan tuhan). Bahkan menurut data
sejarah, mereka mempunyai Rasul dan Kitab suci (tergolong agama samawi).[9]
2.
Hadits 1
Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwa suatu ketika salah
seorang sahabat yang bernama Ibnu ‘Umar ditanya tentang bagaimana hukum menikah
dengan perempuan Nasrani dan yahudi? Kemudia Ibnu ‘Umar menjawab bahwa menikahi
perempuan Nasrani dan Yahudi adalah haram, ia menegaskan argumentasinya dengan
berkata bahwa Allah SWT telah melearang seluruh laki-laki muslim menikahi
dengan seorang perempuan Musyrikat dan orang syirik yang paling besar
adalah apabila seorang perempuan berkata bahwa ‘Isa adalah tuhannya, padahal
‘Isa adalah hamba Allah.[10] Hal
ini disandarkan pada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani
dan Yahudi. Mereka (Orang Yahudi) berkata bahwa ‘Uzair adalah anak Allah dan
Orang Nasrani berkata bahwa ‘Isa adalah anak Allah.
وَقَالَتِ الْيَهُوْدِ عُزَيْرُ اِبْنُ اللهِ
وَقَالَتِ النَّصَرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللهِ ذَالِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ[11]
Dengan dalil ini juga Ibnu ‘Umar mengharamkan seorang pria Muslim
dengan wanita Ahl al-Kitab dan tentunya pendapatnya inibersebrangan
dengan pendapat jumhur ulama’dan juga praktik sahabat, seperti ‘Utsman yang
menikahi Nailal binti Al-Gharamidah, Ibnu’Abbas, Thalhah, dan Jabir.[12]
3.
Hadits 2
Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari disebutkan bahwadalam Surat Al- Baqarah(2): 221 Allah
mngharamkan kepada seluruh laki-laki Muslim menikahi wanita-wanita Musyrikat,
akan tetapi menurut beliau ada sebuah pengecualian. Menurut beliau halal
bagi laki-laki muslim menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab, karena surat
Al-Maidah(5): 5, yng turun setelah Surat Al-Baqarah(2): 221, telah membolehkan
untuk menikah dengan wanita-wanita Ahl al-Kitab.[13]
F.
TAFSIR AYAT
Ayat dalam QS. Al-Baqarah (2): 221 menimbulkan dua konsekuensi
hukum, yaitu larangan lelaki muslim mengawini wanita musyrik dan larangan
wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik.
Yang dimaksud dengan musyrik pada ayat di atas, menurut Jarir
Ath-Thabari adalah para penyembah berhala dikalangan orang-orang Arab yang
hidup pada masa Nabi SAW.[14]
Al-Mawardi menjelaskan bahwa ada tiga pendapat tentang penafsiran
kata Musyrik dalam ayat tersebut: Yang pertama, yang dimaksud
musyrik dalam ayat ini adalah mencakup seluruh orang musyrik, baik kitab ataupun
non-Kitab, dan hukum yang termuat di dalam aya tersebut tidak ternasakh
(terhapus) sama sekali, sehingga menurut pendapat yang pertama ini
konsekwensinya adalah tidak diperbolehkan bagi seluruh umat Muslim menikahi orang-orang
musyrik untuk selamanya. Yang kedua, yang dimaksud Musyrikut dalam
ayat itu hanyalah Musyrikut Arab dan orang-orang yang beragama Ahl
al-Kitab, dan ayat itu tidak ternasakh sama sekali sebagaimana kasus
yang dialami oleh sahabat Qatadah dan Sa’id bin Zubair. Yang Ketiga, yang
dimaksud Musyrikat dari ayat itu adalah seluruh Musyrikat (baik
Arab maupun ‘Ajam) dan dikecualikan orang-orang Kitabiyah, karena
menurut pendapat ketiga—ayat ini ternasakh oleh Surat Al-Maidah(5): 5.[15]
Namun menurut hemat penulis, Musyrik yang disebut pada ayat
tersebut adalah berlaku secara umum, yakni semua paham keagamaan yang menyembah
selain Allah SWT. Yang berarti mereka tidak boleh kawin dengan muslimin.
Dua hati yang saling bertantangan itu akan membawa pada kehancuran,
keberantakan, permusuhan dan pertentangan. Yang satu beriman dan baik,
sedangkan pasangannya musyrik dan durhaka. Maka dari itu Islam mengharamkan
perkawinan dengan orang Musyrik dan dinilai sebagai perkawinan yang
bathil yang tidak bisa seiring dengan Syari’at Allah.
Perempuan yang Musyrik tidak akan bisa melakukan perintah Amar
Ma’ruf Nahi Munkar. Islam juga mengharamkan perbuatan khianat dan
mewajibkan amanat, sedang seorang Musyrik juga tidak bisa membahagiakan
suaminya, dan tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap suaminya yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, karena antara jiwa keduanya ada jurang
pemisah yang dalam.[16]
G.
TAHLIL AYAT
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitab bukalah
termasuk dalam kategori Musyrik. Dalam Al-fatawa Al-Kubra, Ibnu
Taimiyyah menyatakan bahwa dalam jumhur ulama salaf dan khalaf, termasuk empat
imam madzhab, mempunyai pendapat yang sama Ibnu Taimiyyah menjelaskan ada 3
alasan yang mendukung hal ini, yaitu:
a.
Perbedaan Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Al-Qur’an memang
dibedakan.
b.
Surat Al-Baqarah bersifat umum, di mana isinya memuat pesan
larangan menikahi wanita Musyrik secara umum, sedangkan dalam Al-Maidah
bersifat Khusus, yaitu pembolehan menikahi perempuan yang terbatas pada Ahl
al-Kitab . Dalam kondisi seperti ini, yang khusus lebih diprioritaskan dari
yang umum.
c.
Al-Maidah merupakan Nasakh dari Surat Al-Baqarah. Dalam hal
ini Ulama sepakat bahwa Al-Maidah turun setelah Al-Baqarah.[17]
Dalam memahami
makna tafsir ayat-ayat di atas maka penulis mengambil beberapa penjelasan dari
beberapa ahli tafsir, yaitu:
1.
Ibnu Jarir Ath-Thabari
Menurut ketentuan QS. Al-Maidah(5): 5 yakni: “Dihalalkan mengawini
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab,
bila kamu membayar mas kawin mereka”. (Al-Maidah(5): 5). Ath-Thabari
membenarkan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita-wanita merdeka
yang menjaga kehormatannya dari kalangan Ahl al-Kitab. Yang dimaksud dengan
Ahl al-Kitab adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani yang mengikuti
ajaran Taurat dan Injil. Ath-Thabari mengartikan Al-Muhsanat dengan
wanita merdeka yang menjaga kehormatannya.[18]
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-baqarah(2): 221, yaitu: “Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanitaMusyrik sebelum mereka beriman. Dan janganlah kamu
nikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Muslim) sebelum mereka
beriman.” Haram hukumnya wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim,
sedang keharaman laki-laik Muslim mengawini wanita non-Muslim Ahl al-Kitab
telah dinasakh oleh ayat 5 Surat Al-Maidah.
2.
Rasyid Ridha
Berdasarkan ketentuan ayat 5 dalam Surat Al-Maidah, Rasyid Ridha
membolehkan laik-laki Muslim menikahi wanita Kitabiyah baik Dzimmiah maupun
Harbiah, dengan alasan bahwa ayat wa Al-Muhsanat tersebut di ataf
kan dengan ayat sebelumnya wa –ta- am dan seterusnya, yang menegaskan
bahwa sesemblihan Ahl al-Kitab halal bagi orang Muslim, maka menikahi
wanita Kitabiyah juga halal bagi laki-laki Muslim.[19]
Sedangkan kata Musyrikat pada ayat 221 Surat Al-Baqarah
diartikan sebagai wanita Musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab. Ahl
al-Kitab tidak termasuk Musyrik sehingga halal menikahinya sebagaimana
ditegaskan dalama ayat 5 Surat Al-Maidah. Rasyid Ridha tidak memasukkan
orang-orang Majusi sebagai Musyrik dan pendapat ini bertentangan dengan
pendapat fuqaha dan mayoritas ahli tafsir.[20]
3.
Al-Jassas
Berdasarkan Al-Baqarah ayat 221, laki-laki Muslim dilarang menikahi
wanita Musyrikat, yaitu mereka yang menyembahberhala dan tidak
termasukwanita-wanita Yahudi dan Nasrani, mereka telah tegas
dinyatakankebolehannya untuk dinikahi sebagaimana dinyatakan dalam Surat
Al-Maidah ayat 5. Di samping itu banyak riwayat yang menyatakan bahwa ada di antara
para sahabat yang menikah dengan wanita-wanita Kitabiyah, seperti Utsman
bin Affan menikah dengan Nailal binti Al-Farasifah Al-Kabilah dan sebagainya.
Adapun hadits yang dinyatakan oelh Ali bin Abi Thalib yang melarang menikahi
wanita Ahl al-Kitab menurut Al-Jassas adalah “Maqtu’”, sehinga
hal itu tidak akan berpengaruh kepada kehidupan rumah tangga.[21]
H.
PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Komplikasi
Hukum Islam (KHI) yang diinstrusikan oleh Presiden kepada Menteri Agama dengan
No. 1/1991, untuk disebarluaskan dan digunakan oleh instansi pemerintah dan
masyarakat yang memerlukannya. Dalam konsideran Inpres tersebut, dinyatakan
bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman oleh Instansi Pemerintahan dan
masyarakat yang memerlukannya dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan.
Pernyataan
diatas, menunjukan bahwa KHI berfungsi sebagai hukumu materiil hukum Islam yang
berlaku di Indonesia, selain UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan PP No.
28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Karena sumber KHI mengacu kepada
ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi SAW, kitab-kitab fiqih, dan ra’yi (ijtihad
kolektif), maka KHI memenuhi syarat disebut sebagai sumber hukum. [22]
Karena
perkawinan merupakan salah satu muatan KHI, maka di dalamnya terdapat aturan
mengenai perkawinan beda agama. Pasal yang mengatur tentang hal itu adalah
pasal 40 huruf “c” dan pasal 44. Pasal yang disebutkan di atas pertama tidak
membenarkan lelaki muslim mengawini wanita non-muslim, sedangkan pasal kedua
menyatakan sebaliknya, yaitu tidak membenarkan wanita muslimah dikawini oleh
lelaki non-muslim.
Penegasan KHI
di atas tidak membedakan agama bagi orang-orang non-muslim; apakah mereka itu
Katholik, Kristen, Protestan, Hindu, atau Budha. Kalau demikian, dapatkah
dikatakan bertentangan dengan Al-Qur’an, khususnya mengenai kebolehan lelaki
muslim mengawini wanita Ahl al-Kitab.
Menurut Dr. M.
Tahir Azhari,penegasan KHI itu sangat bermanfaat dari sudut kemaslahatan Islam,
khususnya dalam hal memelihara keutuhan aqidah. Selanjutnya dikatakan bahwa
ketentuan KHI tersebut mengenai hasil Ijtihad ‘Umar bin Khattab, yang ketika
beliau menjabat sebagai khalifah, melarang lelaki muslim mengawini wanita Ahl
al-Kitab (Yahudi dan Nasrani)[23]
Sejalan dengan
pendapat Bahrun Mertosukarto, S.H. mengutip penjelasan pasal 2:1, bahwa tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu,
sesuatu dengan UUD 1945. Karenanya, perkawinan antara dua orang yang berlainan
agama tidak sah dan bukan perkawinan. Selanjutnya, ia katakan bahwa membuat
ketentuan untuk melegalisasikan perkawinan antar agama, berarti membiarkan
orang merusak integritas agama, serta bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945[24]
KESIMPULAN
Dapat difahami bahwa
pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrikat adalah HARAM,
begitu juga menikahkan wanita-wanita Muslim dengan laki-laki Musyrik. Akan
tetapi, beda halnya dengan pernikahan
antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab yang menjaga
kehormatannya.Perkawinan itu halal dilakukan keduangnya bila di antara keduanya telah terajut sebuah tali
kasih sayang dan sanggup untuk mewujudkan tujuan dari pernikahan, yaitu
terbentuknya sebuah tatanan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan penuh
dengan rahmat. Selain itu bila dikatikan dengan KHI (Komplikasi Hukum Islam)
yang berlaku di Indonesia maka KHI sama sekali tidak bertentangan dengan hukum
yang ada di dua nash (Al-Qur’n dan Sunnah). Bahkan, aturan dalam KHI tersebut
merupakan penafsiran dari surat Al-Maidah ayat 5, sesuai dengan situasi dan
kondisi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an, 2005, Jakarta:
Penamadani.
Al-Qurthubi, Syeikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, 2008, Jakarta:Pustaka
Azzam.
Syakir, Syeikh Ahmad, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,
2014, Jakarta: Darus Sunnah Press.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Jakarta : CV.
Toha Putra.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jakarta : Gema Insani.
[1] Lihat Prof. Dr. Umar Shihab, MA, Kontekstual Al-Qur’an, (Jakarta:
Penamadani, 2005), hlm.321.
[2] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam
Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 216.
[3] Al-Baqarah(2): 221
[4] Menurut dia perempuan yang menyembah berhala dan tidak menganut Agama
Samawi disebut Musyrikat dan kalau laki-laki disebut Musyrik. Dia
juga mengemukakan bahwa orang-orang Majusi termasuk pada golongan Musyrik.
Lebih luas lagi dia mendefinisikan bahwa musyrik adalah tiap-tiap orang kafir
yang memeluk Agama Islam, termasuk juga orang yang menyembuh berhala, Orang
Majusi, Yahudi, Nasrani, dan orang yang keluar dari Agama Islam (Murtad). Tiap-tiap
dari mereka itu haram untuk dinikahkan dengan wanita Muslim. Lebih lanjut lihat
Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an,
Juz I (t.tp,: t.p., t.t.), hlm. 282-290.
[5] Lihat Syeikh Muhammad Syakhir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid
1), Darus Sunnah Press: Jakarta, 2014, hlm. 294-295
[6] Al-Maidah(5): 5
[7] Pendapat ulama’ salaf di atas dikutip oleh Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha dalam Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar),
Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 186.
[8] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam
Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 210.
[9] Pendapat ulama’ salaf di atas dikutip oleh Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar),
Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 193.
[10] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Bardazbah Al-Bukhori al-Ja’fi, Shahih Bukhori, hlm. 172, Bab Qaul
Allah Ta’ala: Wala Tankihu Al-Musyrikatu Hatta Yu’minna walaamatun Mu’minatun
Khairun Min Musyrikatin Walau A’jabatkum, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Nafi’. Lihat juga Abi Bakr Ar-Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an (Beirut
Lubnan: Dar Al-Fikr, 1993), I: 455; II: 459-460.
[11] At-taubah (9): 30
[12] Lihat M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-Hadisah, cet. Ke-2
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 12, lihat juga Muhammad ‘Ali
ash-Shabuni, Rawai’ Al-Bayan, hlm. 287.
[13] Diriwayatkan oleh ‘Ammar dalam,
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari Jami’ Al-bayan di Ta’wil
Al-Qur’an, cet. Ke-2 (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’rifah, 1972), hlm. 512
[14] Pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari di atas, termaktub dalam kitab Sayyid
Muhamad Rasyid ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim (terkenal dengan Tafsir Al-Manar),
Dar al-Fikr, (ttp.), Juz VI, hlm. 193.
[15] Imam Al-Mawardi, An-Nukt wa Al-‘Uyun, Tafsir Al-Mawardi, Juz
ke-1 (Beirut Lubnan: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.t.), hlm. 281. Muhammad Rasyid
Ridho dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim, Asy-Syahir bi Tafsir Al-Manar, cet.
Ke-2, juz II (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif, ,t.t.), hlm. 350
[16] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam
Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 216
[17] Taqiyuddin ibn Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, (Beirut Lubnan:
Dar Al-Kutub, Al-Ilmiyyah, , t.t.), jilid III, hlm. 116-117.
[18] Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Beirut Lubnan: Dar
Al-Fikr, 1978), hlm. 66-68
[19] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif,
[t.t.],), jilid IV, hlm. 180
[20] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut Lubnan: Dar Al-Ma’arif,
[t.t.],), jilid III, hlm. 384
[21] Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an (Beirut Lubnan: Dar Al-Fikr, 1985).
[22] Pasal 40 huruf “c” berbunyi, “Dilarang melangsungkan perkawinan antara
pria Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam. Sedangkan pasal 44
berbunyi, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria
yang tidak beragama Islam.” Baca, Achmad Roestandi dan Muchjidien Effendie S., Komentar
atas UU No. 7/1989, Dilengkapi Komplikasi Hukum Islam, Nusantara Pres,
Bandung, 1991, hlm.251-252.
[23] Lihat M. Thahir Azhari, Mimbar Hukum, Yayasan Al-Hikmah dan
Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, No. 4, 1991,
h. 17-18
[24] Lihat Bachrun Mertosukarto, “Hak Asasi Manusia Dalam Perkawinan”,
dalam Majalah Amanah, No. 149-150, Tahun 1992, hlm. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar