Minggu, 14 Oktober 2018

perkawinan beda agama di Indonesia


 Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dosen Pembimbing : Faiq Tobroni, M.H.

Disusun oleh:
Muhammad Abdul Ghofur Asshiddiq (16340026)

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat, karena melalui perkawinan orang dapat hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa[1]. Mengingat arti penting peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai perkawinan harus dilakukan oleh negara dan dalam hal ini negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita melalui ikatan perkawinan.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, permasalahan yang terjadi dalam bidang perkawinan menjadi semakin kompleks. Sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis (homo atau lesbian), perkawinan kontrak dan perkawinan antar agama. Bahkan kompleksitas masalah dalam perkawinan ini juga terjadi karena adanya kemungkinan bahwa perkawinan campuran juga merupakan perkawinan antar agama, berhubung pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan merupakan pasangan yang lintas negara (berbeda kewarganegaraan) sekaligus merupakan pasangan lintas agama (berbeda agama).
            Perkawinan yang merupakan bagian dari HAM, melain-kan hak untuk membentuk keluarga inilah yang merupakan bagian dari HAM, dan berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, hak untuk membentuk keluarga ini sekaligus merupakan tujuan perkawinan, karena yang dimaksud dengan per-kawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah: “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan mem-bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perlu diperhatikan bahwa walaupun hak untuk membentuk keluarga merupakan bagian dari HAM, tetap saja pemenuhan terhadap hak ini harus mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan kata lain bahwa pemenuhan hak untuk membentuk keluarga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan hak untuk membentuk keluarga, persoalan krusial yang muncul belakangan ini adalah terkait dengan perkawinan antar agama. Banyak para pendukung HAM yang beranggapan bahwa perkawinan antar agama harus diakui oleh pemerintah, karena perkawinan merupakan HAM setiap orang, dengan demikian UU No. 1 Tahun 1974 harus segera direvisi, karena mengabaikan HAM anggota masyarakat yang melaksanakan perkawinan antar agama.
Pendapat seperti ini muncul karena berdasarkan Pasal 16 ayat (1) The Universal Declaration on Human Rights, (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), yang selanjutnya disingkat DUHAM, ditentukan bahwa: “laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarga-negaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa hak untuk perkawinan (pernikahan) dan hak untuk membentuk keluarga tidak boleh dibatasi oleh 3 (tiga) hal, yaitu: (1) kebangsaan; (2) kewarganegaraan; dan (3) agama. Berhubung hak untuk melaksanakan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga tidak boleh dibatasi oleh agama, maka ada anggapan yang mengatakan bahwa perkawinan antar agama juga tidak boleh dilarang, walaupun dan dalam ajaran agama belum tentu dibolehkan, oleh sebab itu larangan terhadap perkawinan antar agama dianggap sebagai pelanggaran HAM.
1.      Perkawinan beda Agama dalam perspektif HAM
Secara yuridis nilai-nilai HAM bersumber pada instrumen internasional yang disebut sebagai the International Bill of Human Rights, yang terdiri atas Universal Declaration of Human Rights (diterima tahun 1948), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR-1966) beserta dua Optional Protocols and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR-1966) Sekalipun merupakan instrumen internasional, tetapi HAM memiliki dimensi universal dan partikular. Dimensi universal memandang nilai-nilai HAM berlaku berlaku universal sebagaimana diatur dalam Bangkok NGO Declaration pada 27 Maret 1993 yang menyatakan, bahwa: “As human rights are universal concern and are universal in value, the advocacy of human rights cannot be considered to be an encroachment upon national sovereignty.” Artinya, nilai-niilai HAM bersifat universal sehingga penegakan HAM tidak dapat dibatasi oleh kedaulatan nasional.
ICCPR merupakan perjanjian internasional yang teksnya dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1966. ICCPR mulai berlaku tahun 1976 setelah 35 negara meratifikasi. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights–ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Perlu dicatat, ICCPR hanya berlaku bagi negara-negara yang telah meratifikasi. Substansi yang diatur dalam ICCPR intinya adalah penghormatan atas HAM yang terkait dengan hak–hak sipil dan politik dan mewajibkan kepada negara peserta untuk mentransformasikan ke dalam hukum nasional. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak (state parties) ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak–hak negatif (negative rights). Artinya, hak–hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik berbunyi “ Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)”, dsb.[2]
Dalam Pasal 18 (a) deklarasi anti diskriminasi agama dinyatakan bahwa; every person is entitled to marry, to found a family and to bring up children in conformity with his religion, traditions, angculture.. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menikah, membangun keluarga dan untuk mengarahkan anak-anaknya kepada agama, tradisi dan budayanya.
Dalam UDHR Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa; Men and women of full age without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal right to marriage, during marriage and at its dissolution. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah dan membangun keluarganya, tanpa halangan adanya perbedaan ras, kebangsaan atau kewarganegaraan dan perbedaan agama. Dengan demikian perbedaan agama bukan meripakan penghalang untuk menikah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 GHR bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan.
Dalam UU tentang HAM di Indonesia, di samping terdapat kebebasan beragama juga terdapat kebebasan untuk menikah dan meneruskan keturunan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 (1) yang berbunyi; Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Akan tetapi dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa perkawinan yang ditentukan menurut UU. Dengan demikian, hak untuk melaksankan perkawinan dibatasi oleh UU Perkawinan. Sementara dalam Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan yang sah yaitu perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.[3] Pasal tersebut sering dianggap sebagai pelarangan terhadap perkawinan beda agama, karena perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sedangkan tidak mungkin satu perkawinan dilaksanakan dengan dua upacara agama. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa UU mengenai perkawinan di Indonesia bertentangan dengan UDHR.  
2.      Pernikahan  beda agama di indonesia
Pernikahan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam hukum keluarga. Di Indonesia sendiri perkawinan beda agama mengalami perubahan sejak sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan setelah adanya UU Perkawinan. Namun walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi hal itu tetap saja dianggap beberapa pihak bahwa pengaturran perkawinan beda agama tidak tegas dan dianggap telah ada ketidakjelasan/ penyelundupan hukum di dalamnya.
Dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Dari Pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di Indonesia adalah perkawinan berdasarkan hukum agama. Sehingga, perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama tidak sah. Dari pasal tersebut, biasanya ditarik pengertian juga bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan oleh suatu hukum agama tidak sah pula.[4] Penjelasan atas Undang-Undang ini kemudian diperkuat dengan adanya UU No 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 50 UU ini, tercantum klausa bahwa “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.”[5]
            Pasal 2 UU Perkawinan sering dianggap sebagai pelarangan terhadap perkawinan beda agama, karena perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sedangkan tidak mungkin satu perkawinan dilaksanakan dengan dua upacara agama.oleh karena  itu, dalam pelaksanakan perkawinan beda agama salah satu pihak hendaknya mengikuti agama pihak lain. Hal ini sebagaimana solusi atau pemecahan masalah pelaksanaan perkawinan beda agama yang dirumuskan oleh mahkamah agung:[6]
a.       Sesuai dengan jiwa dari UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut prinsip kesimbangan antara suami dan istri ,maka seharusnya kedua pihak  bermusyawarah untuk menentukan hukum agama mana yang akan dipakai.
b.      Karena tentang hal ini belum diatur dalam UU Perkawinan maka dapatlah dipergunakan Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) yaitu bahwa perkawinan dapat dilangsungkan sesuai dengan hukum yang berlaku untuk suami (Pasal 6).
Yudicial review tentang regulasi perkawinan beda agama juga telah diajukan oleh para pemohon yang merasa dirugikan dengan adanya UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1). Perkara tersebut juga telah diputuskan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dan MK menyatakan penolakan seluruhnya tentang uji materiil UU Perkawinan yang diajukan oleh pemohon. Karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. MK justru menilai bahwa negara harus mengeluarkan peraturan dengan nilai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum. Menurut MK perkawinan beda agama justru tidak menimbukan kepastian hukum. Selain itu, pembatasan dalam perkawinan beda agama akan bisa memberikan kebahagiaan dalam melaksanakan perkawinan[7]
Lebih lanjut MK menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan tentang perkawinan untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara. Dijelaskan lebih lanjut ditegaskan bahwa perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin yang bertujuan menciptakan keluarga atau rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut MK bahwa agama adalah landasan komunitas individu yang menjadi komunitas individu di dalamnya. MK juga menegaskan bahwa negara berperan dalam memberikan pedoman untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan keberlangsungan manusia. Selain itu menurutnya bahwa perkawinan harus didasarkan kepada agama bukan hanya aspek formal semata. Selain itu, perkawinan harus juga melihat aspek sosial dan spritual. Terkait dengan pencatatan dan pengesahan, maka MK berpendapat bahwa agama berperan sebagai penentu keabsahan perkawinan dan negara berperan menetapkan keabsahan administratif.[8]
Melihat dua pembahasan di atas tentang pengaturan pernikahan beda agama dalam perspektif HAM dan hukum positif di Indonesia, maka akan muncul kontradiksi diantara keduanya. Disatu sisi KIHSP dan UDHR melarang adanya pelarangan pernikahan dengan alasan ras dan agama. Disi lain Indonesia dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 nya hanya mengakui pernikahan yang dilakukan menurut hukum agamalah yang sah. Tentunya hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan akademisi hokum terkhusus yang mengkaji tentang persingungan HAM dan Hukum Posiitif di Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki pandangan hidup yang sudah sangat jelas dan final yaitu Pancasila. Pancasila adalah kristalisasi dari semua kepentingan dan pandangan hidup bangsa. Ini artinya Pancasila mendapatkan tempat lebih tinggi dari sekedar peraturan hukum kongkrit yang berbentuk Undang-undang Dasar dan lain sebagaianya. Dalam sila pertama PANCASILA telah tegas menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya, setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia haruslah berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan, selain itu konsekuensi logis dari hadrinya sila pertama tersebut adalah bagaimana negara menjamin kehidupan beragama dari tiap-tiap warga negara.
Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Sri Wahyuni dalam tulisanya tentang penikahan beda agama. Disitu disebutkan bahwa agama Islam,Kristen, Hindu dan Budha tidak mengehendaki adanya pernikahan beda agama.[9] Sebagai wujud pengejawantahan terhadap Pancasila sila pertama maka hadirlah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan secara tegas bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan upaya negara dalam menjaga kemurnian ajaran agama di Indonesia., karena dengan ini secara tidak langsung negara hadir untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk setiap warga negara dalam menjalankan perintah agamanya.Meskipun adapula yang berpendapat bahwa sejatinya pelarangan nikah beda agama dalam hukum positif di Indonesia tidak secara tegas diatur.
Prof. Mahfud MD,secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM boleh dilakukan selama menggunakan instrument hukum dan digunakan sebagai perlindungan terhadap HAM orang lain.[10] Jika kita melihat pembatasan HAM terhadap pelaku perkawinan beda agama dengan mendalam maka sejatinya negara sedang melindungi HAM pemeluk agama yang dalam ajaran agamanya melarang perkawinan beda agama. Konsep  inilah yang kemudian jamak sebagai HAM partikularis atau relativitas HAM.
Indonesia jelas menganut HAM partikularis, karena banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak mentaati Konvenan Internasioanal tentang HAM. Karena sejatinya Indonesia memiliki cara pandang sendiri dengan HAM. Hal yang demikian dapat kita temukan secara eksplisit dalam konstitusi kita yaitu terdapat dalam Pasal 28 J Ayat (2), dalam pasal tersebut mengatur secara jelas alasan apa saja yang boleh digunakan untuk membatasi HAM. Maka konsekuensinya nilai-nilai HAM universal harus mengalami filterisasi oleh nilai-nilai keIndoneisaan.  
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwansannya Indonesia memiliki pandangan bahwasannya pernikahan beda agama tidak boleh dilaksanakan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang HAM dan setiap negara yang meratifikasinya wajib mentaatinya. Karena indonesia memiliki pandangan sendiri tentang HAM, hal itu sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, perbedaan agama dan keyakinan yang ada dalam perkawinan tidak boleh ada karena tidak sesuai dengan pancasila dan telah di atur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena itu Indonesia jelas termasuk penganut HAM partikularis dimana pelanggaran HAM boleh dilakukan selama menggunakan instrument hukum dan digunakan sebagai perlindungan terhadap HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam & Hukum Adat, Jakarta: Sinar Grafika, 2003

Jurnal

Aris Danu Setiyanto,”Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 68/PUU-XII/2014 Dalam Perspektif HAM”, Al-Ahwal, Vol. 9, No.1, Juni 2016
Ahmadi Hasnuddin Dardiri,  dan Marzha Tweedo, dan Muhammad Irham Roihan, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”, Khasanah, Vol.6, No.1, Juni 2013
Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”In Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011

Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Internet

https://profmahfud.wordpress.com/2016/02/10/ham-boleh-dilanggar/


[1] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam & Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 3.

[2] Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penjelasan dari Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
[3] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[4] Aris Danu Setiyanto,”Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 68/PUU-XII/2014 Dalam Perspektif HAM”, Al-Ahwal, Vol. 9, No.1, Juni 2016, hlm.13
[5] Ahmadi Hasnuddin Dardiri,  dan Marzha Tweedo, dan Muhammad Irham Roihan, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”, Khasanah, Vol.6, No.1, Juni 2013, hlm. 111
[6] Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia” In Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011, hlm.149
[7] Aris Danu Setiyanto, Op.cit., hlm. 14
[8] Aris Danu Setiyanto, Op.cit., hlm. 24
[9] Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”In Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol 1, No1, 2011, hlm. 138
[10] https://profmahfud.wordpress.com/2016/02/10/ham-boleh-dilanggar/